Khotbah yang
Hebat: “Pakai Catatan atau Tidak” (26)
Pengkhotbah
pemula yang sedang belajar Homiletika sering menanyakan kepada saya apakah
khotbah harus ditulis semua atau khotbah itu tanpa catatan? Atau paling tidak
dibuat garis besarnya saja lalu khotbah dengan gaya orasi tanpa catatan di
mimbar? Memang para pakar homiletika berbeda pandangan soal ini, ada yang
mewajibkan harus ditulis paling tidak 90 persen lengkap, tapi ada juga yang
menyatakan bahwa khotbah sebaiknya tidak perlu catatan lengkap. Saya mencoba
membahas kelebihan dan kekurangan masing-masing pandangan ini dengan catatan
bahwa saya tidak pernah mendukung konsep khotbah tanpa persiapan. Karena bisa
saja ada anggapan bahwa khotbah bisa dilakukan tanpa catatan itu mudah dan
biarkan Roh Kudus bekerja walaupun tidak ada persiapan.
Khotbah
dengan Catatan:
Jika
kita memiliki kemampuan untuk menuliskan khotbah kita secara lengkap maka akan
memiliki beberapa keuntungan: 1) Kita menjadi percaya diri waktu naik di mimbar
bahwa kita telah bersiap seluruhnya. Ini penting karena untuk naik mimbar butuh
sebuah keyakinan diri; 2) Pada waktu yang akan datang khotbah akan dapat
dikumpulkan lalu dijadikan sebuah buku khotbah yang akan dapat memberkati
banyak pengkhotbah lainnya. Saya sering membaca khotbah klasik Charles Spurgeon
yang indah itu. Apalagi sekarang sudah ada yang membacakan khotbahnya (lihat di
youtube).
Namun khotbah
tertulis secara lengkap memiliki juga beberapa kelemahan: 1) Potensi kehilangan
kontak mata dengan pendengar sangat besar. Ini berarti bahwa prinsip komunikasi
efektif dilanggar di mana penting bagi pembicara memelihara kontak mata dengan
pendengarnya agar komunikasi itu efektif; 2) Khotbah seringkali disusun dengan
gaya menulis makalah (written style)
dan bukan ditulis dengan gaya khotbah (oral
style), sehingga bisa saja terkesan khotbah tertulis seperti sedang
mempresentasikan esai padahal khotbah yang efektif saat ini adalah jenis
dialogis (percakapan di mana seolah-olah pendengar ikut terlibat dalam
khotbah); 3) Jika teknik membaca khotbah tidak baik, maka terkesan seperti
membaca sebuah risalah yang monoton dan tanpa intonasi serta tekanan-tekanan
yang penting dari isi khotbah itu.
Khotbah Tanpa
Catatan:
Jika
kita naik mimbar hanya dengan catatan garis besar dan beberapa catatan pendek
saja, lalu disajikan seperti Anda tidak membawa catatan maka akan memiliki
beberapa keuntungan: 1) Potensi efektivitas hasil respons tinggi karena adanya
kontak mata dan badan yang bebas bergerak sehingga unsur persuasi tinggi. Ini
merupakan bagian penting dalam khotbah karena jemaat juga suka akan hal ini.
Yesus dan para murid lainnya menggunakan metode ini; 2) Persiapan menjadi lebih
serius karena harus mengingat apa yang sudah dipersiapkan dan menyiapkan
aliran-aliran dari cerita khotbah; 3) Ini menunjang kebebasan bagi pengkhotbah
untuk melihat respons jemaat dan melakukan penekanan atau improvisasi dari segi
tekanan suara maupun hal lainnya.
Tapi
kelemahan model ini adalah: 1) Anda bisa lupa dengan khotbah yang dipersiapkan.
Ini memang kelemahan mendasar model ini, apalagi kalau sudah terlalu
bersemangat bicara; 2) Jika Anda sudah lupa, maka akan cenderung bicara klise
dan itu-itu saja. Artinya kita cenderung menggunakan bahasa yang tidak
bermakna, atau istilah populernya “hanya buang (lempar) kata tanpa isi”. Maka
tak heran banyak jemaat mengeluh bahwa khotbah dari seseorang tanpa isi dan
bobot.
Solusi untuk
hal ini: 1) Bagi yang senang menulis khotbah secara lengkap, wajib belajar
menghafal isi-isi penting dan lebih sering melakukan kontak mata, serta melatih
teknik berbicara di depan publik. Juga bahasa menulis khotbah diubah menjadi
gaya tulisan oral bukan sebuah makalah; 2) Bagi yang tidak biasa menulis
catatan lengkap maka usahakan persiapan dimatangkan dengan menguasai, menghafal
serta menyerap apa isi utama dan amanat khotbah. Selanjutnya buat kertas-kertas
kecil yang berisi judul, nas Alkitab, garis besar, judul ilustrasi, dan
kata-kata kunci serta aplikasi yang hendak disampaikan supaya dapat diingat dan
disampaikan dengan komprehensif. Jika perlu pakai huruf atau tulisan
warna-warni agar dapat diingat waktu melihatnya.
Pilihan
tentunya dilatarbelakangi oleh kebiasaan kita. Maka kedua model berkhotbah ini
dapat diterima sepanjang dipersiapkan dengan matang di bawah pimpinan Roh Kudus
(*DR*)
*Bacaan lebih lanjut lihat tulisan Jeffrey Arthurs: “No Notes,
Lots of Notes, Brief Notes: The pros and cons of extemporaneous and manuscript
delivery”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar