By Daniel Ronda
Catatan Pendek DR: “Khotbah yang Hebat: Cinta Segitiga (14)” –
Mencintai apa yang dikerjakan adalah kunci sukses dalam melakukan sesuatu
begitu kata orang bijak. Saya rasa ini juga berlaku dalam khotbah. Alangkah
sedih saya mendengar ketika seseorang berkata bahwa berkhotbah itu membuat dia
menjadi stres. Berkhotbah dianggap sesuatu beban yang begitu berat. Memang
tidak ada tugas yang ringan, namun sayang jika khotbah menjadi suatu yang
memberatkan. Tidak sedikit khotbah akhirnya jatuh kepada bentuk curhat dan
cerita-cerita aktivitas keseharian sang pengkhotbah, khotbah menjadi tidak
fokus kepada teks Firman Tuhan tapi kepada cerita-cerita keseharian yang tidak
ada hubungan dengan teks. Khotbah menjadi ajang cerita hobi dan
peristiwa-peristiwa yang muncul dalam kancah perpolitikan di Indonesia atau
hobi main sepakbola dan seterusnya. Frustasi muncul di dalam jemaat yang merasa
bahwa gembalanya tidak memberikan makanan rohani yang terbaik bagi mereka,
sedangkan gembala frustasi karena tidak menyukai berdiri di mimbar menyampaikan
firman Tuhan. Bagaimana membuat khotbah itu menjadi sesuatu yang membuat kita
bersemanagat dalam menyiapkan dan menyampaikannya?
Ada tiga
cinta segitiga yang harus dimiliki oleh seorang pengkhotbah. Saya harap ini
tidak dianggap negatif istilah cinta segitiga ini sebagaimana pengertian
umumnya cinta segitiga ini. Istilah ini saya pinjam dari dosen khotbah saya Dr
Elssworth Kallas tentang tiga cinta yang seharusnya dimiliki pengkhotbah:
1) Cinta kepada khotbahnya: Seorang yang hendak menyiapkan khotbah
sudah mengantisipasinya dengan semangat bahwa dia akan bekhotbah. Semangat itu
lalu muncul dalam kegairahan dalam menyiapkan khotbah dengan gembira dan
sungguh-sungguh. Lalu studi teks menjadi suatu yang menyenangkan dan kagum
melihat teks yang dibaca. Poin-poin amanat khotbah yang didapat terasa seperti
sebuah cahaya kebenaran yang membuat kita bersukacita menemukannya. Lalu kita
merasakan gairah untuk menyusun argumen penjelasan-memberikan ilustrasi-dan
akhirnya membuat aplikasinya. Setelah itu waktu kita menyampaikannya di mimbar
kita bawa dengan sukacita dan penuh semangat, serasa tidak sabar untuk
membukakan kebenaran-kebenaran yang ditemukan. Ini yang saya maksud dengan
cinta kepada khotbah yang disampaikan;
2) Cinta kepada jemaat yang
dilayani. Panggilan kita buat hanya cinta dalam menyusun dan menyampaikan
khotbah. Kita juga patut cinta jemaat yang kita layani. Karena kepada merekalah
firman Tuhan itu diperuntukkan. Yesus memberi teladan bagaimana Dia merindukan
umat Tuhan kembali kepada jalan Tuhan. Itu seharusnya juga menjadi cinta sang
pengkhotbah. Sekalipun dia harus menegur dosa umat Allah, namun motivasi dari
teguran itu adalah cintanya kepada jemaat. Khotbah bukan pelampiasan sakit hati
dan kemarahan sang pengkhotbah atas jemaatnya. Tidak layak seorang naik mimbar
membawa kepedihan, kemarahan bahkan sindiran kepada jemaatnya. Jemaat bukan
untuk disakiti tapi dicintai oleh sang pengkhotbah;
3) Cinta kepada Kristus. Ini cinta utama sang pengkhotbah yaitu
dia mencintai Kristus yang adalah Tuhan dan pusat pemberitaannya. Kecintaan
kepada Kristus ditunjukkan dalam relasi yang dalam dengan Dia dalam doa dan
meditasi yang dalam denganNya. Cinta kepada Kristus dengan menyukai Firman
Tuhan bahkan mendiskusikan atau membagikan firman Tuhan yang membuatnya
mendapat lawatan Tuhan. Cinta kepada Tuhan juga dinyatakan dengan ketaatan
dalam kehidupan. Tidak ada hal yang menyenangkan bahwa segala kebenaran yang
akan dikhotbahkan lebih dahulu ditaati dan dihidupi oleh sang pengkhotbah.
Inilah yang
dimaksud dengan cinta segitiga di mana kita mencintai khotbah-orang yang
dilayani-dan terutama cinta kita kepada Kristus. Ketiga cinta inilah yang akan
melahirkan khotbah-khotbah hebat dan yang diurapi. Selamat mencinta! (*DR*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar