Senin, 15 Desember 2014

Seri Khotbah yang Hebat: Pakai Catatan atau Tidak



Khotbah yang Hebat: “Pakai Catatan atau Tidak” (26)
Pengkhotbah pemula yang sedang belajar Homiletika sering menanyakan kepada saya apakah khotbah harus ditulis semua atau khotbah itu tanpa catatan? Atau paling tidak dibuat garis besarnya saja lalu khotbah dengan gaya orasi tanpa catatan di mimbar? Memang para pakar homiletika berbeda pandangan soal ini, ada yang mewajibkan harus ditulis paling tidak 90 persen lengkap, tapi ada juga yang menyatakan bahwa khotbah sebaiknya tidak perlu catatan lengkap. Saya mencoba membahas kelebihan dan kekurangan masing-masing pandangan ini dengan catatan bahwa saya tidak pernah mendukung konsep khotbah tanpa persiapan. Karena bisa saja ada anggapan bahwa khotbah bisa dilakukan tanpa catatan itu mudah dan biarkan Roh Kudus bekerja walaupun tidak ada persiapan.

Khotbah dengan Catatan:
Jika kita memiliki kemampuan untuk menuliskan khotbah kita secara lengkap maka akan memiliki beberapa keuntungan: 1) Kita menjadi percaya diri waktu naik di mimbar bahwa kita telah bersiap seluruhnya. Ini penting karena untuk naik mimbar butuh sebuah keyakinan diri; 2) Pada waktu yang akan datang khotbah akan dapat dikumpulkan lalu dijadikan sebuah buku khotbah yang akan dapat memberkati banyak pengkhotbah lainnya. Saya sering membaca khotbah klasik Charles Spurgeon yang indah itu. Apalagi sekarang sudah ada yang membacakan khotbahnya (lihat di youtube).
Namun khotbah tertulis secara lengkap memiliki juga beberapa kelemahan: 1) Potensi kehilangan kontak mata dengan pendengar sangat besar. Ini berarti bahwa prinsip komunikasi efektif dilanggar di mana penting bagi pembicara memelihara kontak mata dengan pendengarnya agar komunikasi itu efektif; 2) Khotbah seringkali disusun dengan gaya menulis makalah (written style) dan bukan ditulis dengan gaya khotbah (oral style), sehingga bisa saja terkesan khotbah tertulis seperti sedang mempresentasikan esai padahal khotbah yang efektif saat ini adalah jenis dialogis (percakapan di mana seolah-olah pendengar ikut terlibat dalam khotbah); 3) Jika teknik membaca khotbah tidak baik, maka terkesan seperti membaca sebuah risalah yang monoton dan tanpa intonasi serta tekanan-tekanan yang penting dari isi khotbah itu.
Khotbah Tanpa Catatan:
Jika kita naik mimbar hanya dengan catatan garis besar dan beberapa catatan pendek saja, lalu disajikan seperti Anda tidak membawa catatan maka akan memiliki beberapa keuntungan: 1) Potensi efektivitas hasil respons tinggi karena adanya kontak mata dan badan yang bebas bergerak sehingga unsur persuasi tinggi. Ini merupakan bagian penting dalam khotbah karena jemaat juga suka akan hal ini. Yesus dan para murid lainnya menggunakan metode ini; 2) Persiapan menjadi lebih serius karena harus mengingat apa yang sudah dipersiapkan dan menyiapkan aliran-aliran dari cerita khotbah; 3) Ini menunjang kebebasan bagi pengkhotbah untuk melihat respons jemaat dan melakukan penekanan atau improvisasi dari segi tekanan suara maupun hal lainnya.
Tapi kelemahan model ini adalah: 1) Anda bisa lupa dengan khotbah yang dipersiapkan. Ini memang kelemahan mendasar model ini, apalagi kalau sudah terlalu bersemangat bicara; 2) Jika Anda sudah lupa, maka akan cenderung bicara klise dan itu-itu saja. Artinya kita cenderung menggunakan bahasa yang tidak bermakna, atau istilah populernya “hanya buang (lempar) kata tanpa isi”. Maka tak heran banyak jemaat mengeluh bahwa khotbah dari seseorang tanpa isi dan bobot.
Solusi untuk hal ini: 1) Bagi yang senang menulis khotbah secara lengkap, wajib belajar menghafal isi-isi penting dan lebih sering melakukan kontak mata, serta melatih teknik berbicara di depan publik. Juga bahasa menulis khotbah diubah menjadi gaya tulisan oral bukan sebuah makalah; 2) Bagi yang tidak biasa menulis catatan lengkap maka usahakan persiapan dimatangkan dengan menguasai, menghafal serta menyerap apa isi utama dan amanat khotbah. Selanjutnya buat kertas-kertas kecil yang berisi judul, nas Alkitab, garis besar, judul ilustrasi, dan kata-kata kunci serta aplikasi yang hendak disampaikan supaya dapat diingat dan disampaikan dengan komprehensif. Jika perlu pakai huruf atau tulisan warna-warni agar dapat diingat waktu melihatnya.
Pilihan tentunya dilatarbelakangi oleh kebiasaan kita. Maka kedua model berkhotbah ini dapat diterima sepanjang dipersiapkan dengan matang di bawah pimpinan Roh Kudus (*DR*)
*Bacaan lebih lanjut lihat tulisan Jeffrey Arthurs: “No Notes, Lots of Notes, Brief Notes: The pros and cons of extemporaneous and manuscript delivery”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar