Senin, 29 September 2014

EVANGELICAL THEOLOGY


Nyoman Lisias F. Dju
fernandlisias@gmail.com 
Pendahuluan

Latar belakang Istilah
Istilah “Evangelical” atau “Injili” adalah istilah yang sangat populer dalam theologia Kristen. Istilah ini bukanlah istilah yang baru sama sekali karena istilah ini sesungguhnya sudah dipakai untuk menyebut sebagian pemimpin umat Katolik Roma yang saat itu setia pada ajaran Alkitab yang murni; dimana mereka mengutamakan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik kelakuan yang Alkitabiah, seperti pentingnya membaca Alkitab, iman kepada Yesus sebagai Juruselamat pribadi dan kesalehan hidup.
[1]Chris Marantika menyatakan hal senada bahwa sejak masa reformasi ungkapan ini telah dikenakan kepada gereja-gereja Protestan, dan kadang-kadang digunakan untuk menunjuk kepada sesama aliran gereja Protestan. Di Rusia, istilah Injili sama dengan denominasi Baptis.[2]Dalam konteks Indonesia masa kini, kata “Injili” digunakan secara luas oleh berbagai gereja, baik oleh gereja-gereja Protestan yang merupakan hasil Zending Belanda maupun gereja-gereja yang dihasilkan oleh gerakan Revival dan atau Holliness Movement.


Grolier Academic Encyclopedia mendefinisikan evangelikalisme sebagai berikut
Evengelicalism is a term applied to a numberof relates movement within Protestanism. They are bound together by a common emphasison what they believe to be a personal relationship with Jesus Christ and a commitment to the demands of the New Testament. Evangelicalism is ussually associated with a type of preaching that calls on the hearer to confess his or her sin and believe in Christ’s forgiveness.[3]

Definisi di atas, menunjukkan bahwa evangelikalisme adalah istilah yang berkaitan dengan gerakan dan aliran Protestan yang memiliki karakter yang sama yaitu penekanan pada keyakinan pribadi pengikutnya pada Yesus Kristus dan komitmen yang sungguh pada ajaran-ajaran PB. Khotbah yang menantang pendengarnya untuk mengakui dosanya dan menerima pengampunan di dalam Kristus dianggap sebagai jenis khotbah kaum Injili.
Dalam Alkitab, istilah Injili dalam bahasa Yunani adalah ευαγγελιον (baca: euangelion) Secara harafiah kata ini berarti kabar baik atau kabar sukacita. Istilah ini juga yang dipakai untuk menunjuk kepada Perjanjian Baru sebagai Injil, yaitu kabar baik bagi semua orang. Dalam konteks Perjanjian Baru, kata ini digunakan untuk menyatakan kabar baik, bahwa di dalam Yesus ada jaminan keselamatan yang pasti. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, setiap orang yang percaya kepada Yesus akan beroleh hidup yang kekal. Inilah berita Injil; berita sukacita bagi semua orang.
Dengan berpegang teguh pada kebenaran sebagaimana yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru, kaum ini menamainya kaum Injili. Meski aliran ini tidak lahir sebagai suatu aliran yang benar-benar baru dalam kekristenan, tetapi aliran ini merupakan aliran yang paling luas pengaruhnya dalam sejarah perkembangan ajaran Kristen. Ideologi dan filosofi aliran Injili meresap hampir di semua aliran gereja yang ada.
Sejauh istilah Injili diartikan sebagai suatu komitmen kesetiaan pada Injil (Alkitab), maka semua gereja yang melakukannya dapat disebut sebagai (dan atau tercakup dalam) aliran Injili. Akan tetapi keyataannya tidak demikian. Kaum Injili dalam perkembangan dan pergerakkannya telah menunjukkan suatu bentuk pemahaman dan karakteristiknya tersendiri yang membedakannya dengan aliran lain dalam gereja Kristen, meskipun pemahaman dan karakteristik itu tidak sama persis dalam seluruh gereja atau aliran Injili di semua belahan dunia.
Gerakan Injili yang ada saat ini sebenarnya adalah gerakan Injili baru atau yang lebih dikenal dengan nama “Neo-Evanjelikal” (Gerakan Injili Pembaharuan). Tetapi istilah “Neo-Evanjelikal” jarang dipakai. Gerakan ini lebih sering memakai nama “Injili” saja.Mengingat Neo-Evanjelikal memiliki pembahasannya tersendiri, maka dalam tulisan ini yang akan dibahas lebih banyak adalah gerakan Injili dalam bentuk awalnya (abad XVI – XIX).

B. Sejarah Singkat Gerakan Injili dan Perkembangannya
Sebagaimana telah di singgung di atas, semangat Injili telah ada sejak abad XVI. Pada saat itu di gereja Roma Katolik ada sebagian orang yang dengan setia mempertahankan kemurnian ajaran Alkitab dan praktik-praktik hidup yang saleh. Pada awalnya kelompok yang dimotori para kardinal ini tidak dianggap berbahaya dan bahkan diterima sebagai gerakan penyegaran rohani.[4]
Ketika Reformasi terjadi, kelompok ini dengan sendirinya terpisah dari gereja Roma Katolik. Mereka dikeluarkan dari Gereja Roma Katolik dan gereja kelompok ini menggunakan nama Evangelische Kirche (secara harafiah: Gereja Injili). Nama itu digunakan untuk menegaskan bahwa Reformasi beserta gereja yang dihasilkannya hendak kembali kepada Injil yang murni sebagaimana terdapat di dalam Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran dan dasar kehidupan gereja.[5]
Menurut The World Book Encyclopedia, istilah “Injili” sudah muncul dan digunakan sejak tahun 1500-an. Buku ini menjelaskan sebagai berikut:
Marthin Luther and others leaders of the Protestant Reformation used the term evangelical in the 1500’s. They use it in promoting a message that stressed salvation through faith in Jesus Christ, the authority of the Bible, and the equality of all belivers before God. Many Lutheran churches today include some form of the word evangelical in their names.[6]

Kenyataannya, istilah ini terus mengalami perkembangan dalam sejarah kekristenan. James C. Livingstone dan Francis Schussler Fiorenza menjelaskan bahwa
However, as the word “evangelical” developed through Christian history, and particularly since the Protestant Reformation, it has taken on more definite meaning. In the sixtenth century, the word was used to refer to those Chatolic writers and reformers who called for return to the beliefs and practices of New Testament Christianity – in contrast to those developments in the medieval Church that were considered unbiblical. The various Christian groups today who, in their own distinctive ways, wish to return to what they view as biblical Christianity and in some cases to the confessions of the Reformation, are often referred to as “evangelical.” In parts of Europe and Latin America, however, the word continues to be used merely as synonymous with Protestan, as distinct from Roman Chatolic.[7]

Penjelasan Livingstone dan Fiorenza di atas menunjukkan bahwa kata “evangelical”  meluas penggunaannya seiring dengan perkembangan dan perluasan kekristenan. Istilah ini juga dipakai untuk menunjuk pada ajaran yang benar, yang membedakannya dengan ajaran yang sesat. Pada masa kini, ajaran Reformed juga diidentikkan dengan kata ini. Di beberapa bagian Eropa dan Amerika Latin, kata ini masih digunakan untuk menunjuk kepada gereja Protestan yang membedakannya dengan gereja Roma Katolik.
Pada masa kini tidak dipungkiri lagi jika istilah “Evangelical” menjadi istilah yang begitu dikenal luas, yang bahkan digunakan oleh berbagai aliran gereja. Semangat gerakan Injili masa kini telah menjadi gerakan yang mampu menerobos batas-batas denominasi dan konfesional dari berbagai aliran yang ada. Gereja-gereja yang dulunya merasa “alergi” dengan istilah ini sekarang sudah mulai menunjukkan sikap yang lebih moderat dan terbuka, walau masih ada juga yang merasa kurang suka dengan gerakan Injili ini. Bagi golongan yang terakhir ini, ketika mendengar istilah tersebut, yang cenderung muncul dalam benak mereka adalah suatu bentuk aliran yang karismatis atau pentakostal. Persepsi yang demikian tentu saja kurang tepat, walau tidak dapat disangkal bahwa ada gereja yang menyebut dirinya Injili yang juga bersifat karismatik atau pentakostal.
Tahun 1700-an, gerakan Injili menggrebek dunia melalui dua pengkhotbah bersudara yang terkenal yaitu John Wesley dan Charles Wesley. Dua tokoh ini dikenal sebagai tokoh Injili yang sangat vokal menyuarakan kebenaran Injil dalam pemberitaan dan khotbah-khotbah mereka. These religious leaders emphasized the need for a personal conversion experience through a special act of God Grace. They also stressed the importance of leading a holy and disciplined life.[8] Bangkitnya dua tokoh ini (dan tokoh-tokoh lainnya) sangat dipengaruhi oleh spritual pietisme. Hingga pertengahan abad XVIII (khususnya di Jerman), pietisme menjadi mainspring  yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya kebangkitan Injili.[9]
Tahun 1800-an, denominasi evanjelikal menjadi aliran yang paling terkenal dan berpengaruh di Amerika. Pada saat itu banyak aliran gereja tertular semangat gerakan ini secara signifikan. The Evangelical United Front merupakan salah satu lembaga yang di dalamnya tergabung orang-orang dari berbagai aliran gereja, seperti: Baptis, Kongregasionalis, Reformed Belanda, Methodis, Presbyterian, dan juga beberapa kelompok kecil lainnya. Badan ini secara aktif mempelopori gerakan pembaharuan dan kebangkitan dan mengorganisirnya.[10]Tahun 1804, The Evangelical Alliance didirikan di London untuk menyatukan orang-orang Kristen dan menggalakkan kebebasan beragama, misi dan masalah-masalah publik lainnya. Aliansi yang bersifat nasional juga dibentuk di Jerman, USA, dan dibeberapa negara lainnya. Tahun 1951, organisasi Internasional dari gerakan ini diganti dengan nama World Evangelical Fellowship.Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman ini diantaranya adalah D. L. Moody dan Charles Finney.
Abad XIX merupakan abad kejayaan gerakan Injili. Pada masa ini, gerakan Injili telah menjadi gerakan yang mendunia. Kaum Injili dikenal dimana-mana, bukan saja karena organisasi mereka yang besar dan pengajaran mereka yang sangat berpengaruh, tetapi juga karena terobosan-terobosan dalam bidang sosial dan ekonomi yang berhasil mereka lakukan. Identitas kaum Injili semakin jelas dan kuat pada masa ini. Sikap mereka pun semakin terbuka dan lebih ilmiah, berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Kenyataan di atas dikuatkan dengan beberapa fakta penting, yaitu terbentuknya yayasan National Association of Evangelical (1942), berdirinya Fuller Theological Seminary  (1947) dankemudian terbitnya majalahChristianity Today (1956).Fuller Theological Seminary adalah sekolah Teologi Injili yang menjadi pilar berkembangnya gerakan dan teologi kaum Injili. Christianity Today merupakan suatu bentuk pelayanan kaum Injili dalam bidang Literatur, sekaligus sebagai sarana publikasi teologi dan pengajaran kaum ini. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Dr. Harold J. Ockenga, Billy Graham, Carl F. Henry, dll. Tokoh-tokoh ini merupakan para pengajar di Fuller Theological Seminary. Pada masa ini, gerakan dan teologi Injili berkembang sedemikian rupa, menjadi suatu gerakan dan teologi dengan identitas dan karakter tersendiri. Mereka mulai berusaha untuk merangkul kaum Fundamentalis dan menerima kaum Liberal. Bentuk teologi dan gerakan Injili pada masa ini kemudian dikenal dengan nama “neo-evangelical.”

B.1. Latar Belakang Tokoh-Tokoh Penting dalam Sejarah Gerakan dan Teologi Injili
Cukup banyak orang yang memiliki peranan penting dalam sejarah gerakan dan perkembangan teologi Injili. Dalam setiap abad perkembangan, ada tokoh-tokoh tertentu yang muncul yang memberi warna dan identitas pada gerakan ini. Dalam bagian ini, tidak semua tokoh akan dipaparkan, hanya beberapa tokoh penting yang benar-benar signifikan dalam perkembangan gerakan dan teologi Injili.

a. John Wesley[11]
Perkembangan gerakan dan teologi kaum Injili tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih dan kontribusi John Wesley. Meski perannya tidak sehebat pionir lainnya, namun apa yang dilakukannya dalam masa pelayananannya telah memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan gerakan dan teologi Injili selanjutnya. Bahkan, ajaran Wesley tentang kesucian di kemudian hari menjadi ajaran yang mempengaruhi dalam Gerakan Kesucian Keswick yang terjadi di Inggris pada akhir abad XIX.
John Wesley lahir pada tahun 1703. Ayahnya adalah pendeta jemaat Epworth di Lincolnshire. Ketika baru berumur lima tahun, rumah mereka terbakar. John berhasil diselamatkan pada menit-menit terakhir. Kejadian ini membuat ibunya melihat John sebagai “puntung yang telah ditarik dari api,” yang diselamatkan untuk tugas khusus. John kemudian belajar di Christ Church, Oxford dan kemudian ditahbiskan menjadi pendeta tahun 1725.
John kemudian menjadi dosen di Lincoln College dan selama masa ini ia menjadi salah satu pendiri Perkumpulan Kudus. Perkumpulan ini dimaksudkan bagi mereka yang sunggug-sungguh dan serius menekuni pelaksanaan ajarana agama. Tahun 1735, ia pergi ke Georgia sebagai utusan Injil. Tetapi pelayanannya disana tidak berhasil. Kekurangan-kekurangannya diperlihatkan oleh seorang pendeta dari “Persaudaraan Morivia.” Orang-orang Morivia adalah penganut pietisme menurut tradisi Spener.
Ketika ia kembali ke Inggris thaun 1738, John semakin sadar akan kebutuhan spiritualnya. Dalam catatan buku hariannya tertanggal 24 Mei 1738, John begitu bergumul dengan keberadaannya setelah ia mendengarkan seseorang yang membaca pengantar Surat Paulus kepada Jemaat di Roma karya Luhter baginya. Ia kemudian mengalami kesadaran akan dosanya dan mengakui Yesus sebagai Juruselamatnya. Menurut tradisi, inilah saat pertobatan Wesley. Mungkin sekali ia telah menjadi Kristen yang sungguh selama tahun-tahun sebelumnya, tetapi hal yang baru dalam peristiwa itu adalah kepastian atau keyakinannya akan keselamatan. Bagi kebanyakan anggota Gereja Inggris saat itu (Anglikan) hal semacam ini adalah terlalu congkak. Tetapi Wesley justru melihatnya sebagai “dasar agama Kristen” dan “Doktrin Utama Metodis.”
Sejak saat itu, John Wesley (dan Saudaranya Charles Wesley serta B. B. Warfield) dengan berkobar mulai berkhotbah tentang keselamatan oleh iman dalam Yesus Kristus. Tetapi ajaran ini tidak disenangi di mimbar-mimbar gereja di Inggris. Masa itu adalah masa dimana kemunduran dalm moral dan agama terjadi begitu besar dan tajam di Inggris. Dengan demikian, maka khotbah semacam ini menjadi khotbah yang datang bagaikan tiupan sangkakala yang nyaaring untuk memanggil orang kembali kepada Injil. Karena mimbar-mimbar tertutup bagi pemberitaan semacam ini, maka ia berkhotbah di pasar dan di tempat mana saja ia dapat menemukan orang berkumpul. Setiap tahun ia menempuh perjalanan 5000 mil dan ia masih berkhotbah hingga usia 87 tahun, tak lama sebelum ia meninggal.
John Wesley menghadapi tantangan dan perlawanan dari semua kaum rohaniawan dan lapisan masyarakat saat itu. Ia sering menghadapi sikap permusuhan, bahkan tidak jarang dilempari dengan batu. Tetapi pada waktu yang sama, banyak tanggapan positif.  Melalui khotbah-khotbah itu, Inggris mengalami Kebangunan Rohani dan banyak orang diantar pada pengetahuan pribadi yang hidup mengenai Yesus. Sebagai akibat kebangunan rohani ini, aliran Evangelikalisme menjadi faktor penting dalam Protestanisme versi Anglo-Sakson, dan sejak munculnya untuk sebagian besar menjadi faktor yang dominan.
Karena Gereja utama Inggris (Anglikan) menunjukkan sikap yang bermusuhan terhadap orang-orang hasil pelayanannya, maka John Wesley memisahkan diri dan mendirikan Gereja Metodis. Namun, spirit kebangunan rohani yang terjadi tetap berhasil masuk ke dalam gereja Anglikan. Ada diantara anggota jemaat Anglikan yang juga mengalami kebangunan rohani. Keadaan ini menciptakan kelompok Injili dalam gereja Anglikan yang kemudian menjadi kelompok yang berpengaruh. Gereja-gereja lain yang secara tradisional tidak terikat pada Gereja Anglikan (seperti Gereja Presbyterian, Gereja Kongregasionalis dan Gereja Baptis) yang mengalami kemunduran dalam jumlah anggota dan kegairahan juga bangkit kembali dan berkembang dengan pesat.
Kebangunan rohani ini telah mempengaruhi gereja (-gereja) di Inggris. Pengaruhnya bukan hanya di bidang kegerejaan. Melalui kebangunan rohani itu, masyarakat paling bahwa dapat terjangkau oleh Injil dengan jalan yang sebelumnya tidak pernah ditempuh. Seluruh lapisan masyarakat mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Pernah dikatakan, tanpa pembangunan rohani yang terjadi pada masa Wesley ini, Inggris mungkin harus menghadapi revolusi seperti halnya Revolusi Perancis. Pembaharuan rohani yang terjadi pada ini telah membawa dampak positif yang luar biasa tidak saja dalam kehidupan gerejawi Inggris, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik.

b. Benjamin B. Warfield [12]
Benjamin Breckenridge Warfield lahir pada tahun 1851 di dekat Lexington, Kentucky. Ia menempuh pendidikan di Princeton dan Leipzig dan kemudian menjadi pengajar di Seminary di Pittsburg dari tahun 1878 sampai 1887. Berikutnya ia menjadi dosen di Seminari Teologi Princeton sampai ia meninggal pada tahun 1921.
B. B. Warfield adalah salah satu wakil terbesar dari kelompok pemikir “mazhab Princeton.” Seminari Teologi Princeton didirikan tahun 1811 dan pada tahun 1820, Charles Hodge mulai mengajar di sana. Hodge yang adalah seorang Calvinis “mazhab lama” harus berhadap dengan Calvinisme “mazhab baru” seperti Finney dan lainnya, hingga pada akhirnya Warfield mengganti A. A. Hodge, putra Charles Hodge. Tahun 1929, Seminari ini mulai bergerak kearah Liberalisme dan John Gresham Machen (1881-1937), wakil terpenting dari mazhab tersebut membentuk Seminari Teologi Westminster yang baru untuk melanjutkan tradisi lama – yang terus dilakukan hingga sekarang.
Warfield terkenal dengan pandangannya mengenai doktrin Alkitab. Ia adalah pembela ulung yang mempertahankan pandangan tradisional bahwa Alkitab adalah sabda Allah yang diilhamkan dan tidak dapat salah. Ia menekankan bahwa ajaran Yesus dan penulis Perjanjian Baru mengenai hal ini sangat jelas. Alkitab “diilhamkan Allah.” Allah-lah penulisnya. Keyakinan ini didasarkan bukanpada satu atau dua nats pembuktian saja, tetapi pada sejumlah besar bukti-bukti Alkitabiah.
Menurut Warfield, Alkitab adalah sabda Allah sekaligus kata manusia. Menolak salah satu dari kedua hal ini adalah salah. Alkitab itu sepenuhnya firman Allah dan juga sepenuhnya kata-kata pengarang manusianya. Ini terlihat dari gaya bahasanya yang jelas berbeda-beda serta sifat-sifat lain dari masing-masing pengarang. Penulis-penulis Alkitab menulis secara bebas, tetapi mereka sudah dipersiapkan oleh Allah, dan Ia telah menyatakan diri kepada mereka seperlunya menurut tugas mereka. Sekiranya Allah menghendaki agar umat-Nya menerima surat-surat seperti surat-surat Paulus, Ia akan mempersiapkan seorang Paulus untuk menulisnya. Dengan demikian, maka para penulis Alkitab menulis tepat seperti apa yang dikehendaki Allah. Karena penulis  menulis tepat seperti yang Allah kehendaki, maka pesan Alkitab adalah pesan-Nya dan Alkitab dapat disebut sabda-Nya. Dengan demikian, apa yang diajarkan Alkitab adalah benar. Teori Warfield ini kemudia dikenal dengan “Teori Pengilhaman Verbal.”
Pada tahun-tahun awal abad 20, liberalisme begitu kuat mempengaruhi gereja-gereja dan organisasi-organisasi evangelikal. Keadaan ini memaksa dibentuknya dibentuknya koalisi kelompok Evangelikal yang teguh dan konservatif demi mempertahankan posisi mereka. Koalisi ini menghimpun kaum-kaum evangelikal dari berbabagi latar belakang: Lutheran, Calvinis, Anabaptis. Semua golongan ini berpadu atas dasar doktrin asasi dari iman evangelikal. Kebenaran yang menyatukan mereka adalah pengilhaman Alkitab dan sifatnya yaang tak dapat salah – suatu kebenaran yang menjadi batu ujian bagi gerakan mereka melawan arus Liberalisme yang kuat, sekaligus menjadi salah satu dogma yang akan mendukung unsur-unsur lain dari Protestanisme Orthodoks.
Meskipun pengilhalam Alkitab telah menyatukan orang-orang ini, tetapi ini tidak berarti bahwa mereka semua memiliki pandangan yang sama. Pandangan Warfield di atas mewakili kaum garis tengah. Kelompok lainnya yang lebih fundamentalis tidak begitu yakin dan menerima sisi kemanusiaan dalam pengilhaman Alkitab. Sementara di kelompok lain berpendapat bahwa memang merasa tidak berhak mengkritik Teologi Alkitab, tetapi meskipun Alkitab adalah diilhamkan Allah, tidak menutup kemungkinan bahwa tidak terdapat kesalahan-kesalahan tertentu dalam Alkitab, seperti informasi tentang sejarah atau geografi. Pandangan ini dipegang oleh James Orr, orang Skotlandia yang sezaman dengan Warfield.
Pada mulanya, kaum evangelikal terdesak kebelakang dalam kehidupan gereja. tetapi secara dramatis aliran bertumbuh menjadi sangat luas dan perngaruh dan pada saat yang sama gereja-gereja aliran Liberal semakin merosot. Sejak kongress Lausanne (1974), gerakan evangelikal dihitung sebagai kekuatan ketiga di dunia Kristen, disamping Katolik Roma dan Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.

c. Charles Finney[13]
Charles Grandison Finney adalah seseorang yang memajukan kebangunan rohani dalam aliran Injili. Ia dilahirkan di Warren, Connecticut pada tahun 1792. Ia belajar hukum dan menjadi seorang pengacara. Tahun 1821, ia bertobat dan mulai menyelidiki Alkitab, setelah sebelumnya ia berpandangan skeptis. Tak lama kemudian, ia meninggalkan profesinya dan menjadi penginjil. Ia mulai berkhotbah, dan pada tahun 1824, ia ditahbiskan menjadi pendeta Presbiterian. Ia kemudian mengadakan kebangunan rohani di negara-negara bagian sebelah timur dengan cara-cara baru diantaranya mengadakan pertemuan-pertemuan penelaahan bagi mereka yang mencari keselamatan.
Kalau Calvinisme cenderung mengajak orang untuk menunggu Allah berkarya yang membuat mereka bertobat, maka Finney melihat pertobatan itu sebagai tindakan kehendak manusia yang terjangkau oleh kita. Penekanan pada tanggung jawab manusia juga terdapat dalam ajarannya mengenai kebangunan rohani. Menurut tradisi, kebangunan rohani dilihat sebagai tindakan berdaulat Allah, yang dapat kita doakan, tetapi yang Allah hanya berikan menurut perkenanan-Nya. Finney menekankan penting persiapan untuk kebangunan rohani. Semangatnya memajukan kebangunan rohani membuat ia dikenal sebagai “bapa kebangunan rohani modern.”
Pada tahun 1835, Finney menjadi guru besar dogmatik di Oberlin College, Ohio, dan dari tahun 1851 hingga 1866 ia menjadi ketuanya. Secara teologis, Finney dapat dikatakan sebagai Sekolah Baru Calvinis (New Haven Theology). Khotbah dan pengajarannya selalu tajam dan dramatis. Apakah ia melayani sebagai pekabar Injil, gembala, dosen teologi atau rektor universitas, tujuan fundamnetalnya tetap sama: menjamin pertobatan dari orang berdosa dan mempersiapkan mereka bagi kedatangan kerajaan 1000 tahun.
Finney menerapkan suatu patokan baru dalam pelayanannya seperti jemaat tidak duduk dengan kaku, pertemuan-pertemuan berlangsung lama dan ia juga mengizinkan perempuan berdoa di muka umum. Kebangunan rohani yang diprakarsainya segera menyebar dengan ke seluruh wilayah dengan cepat, dimana hal itu dikenal sebagai “membakar seluruh wilayah.” Meskipun Finney terlibat dalam mempromosikan kebangunan rohani sepanjang hidupnya, bahkan melakukan perjalanan ke Inggris untuk tujuan itu (1849-1850, 1859-1860), periode 1824-1832 tetap merupakan puncak dari karir kebangunan rohaninya.
Sepanjang hidupnya Finney menghasilkan beragam buku, koleksi khotbah dan artikel. Karyanya yang penting sehubungan dengan kebangunan rohani adalah Lectures on Revivals of Religion (1835) adalah sejenis buku pegangan tentang bagaimana memimpin suatu kebangunan rohani, dan Memoirs (1876) berisi tentang keterlibatannya dalam berbagai kebangunan rohani yang besar di awal abad XIX.

d. D. L. Moody[14]
Gerakan kebangunan rohani  pada abad ke 19 di Amerika Serikat tidak dapat dipisahkan dari nama Dwight L. Moody dan penggantinya Charles  Finney.   Moody dikenal sebagai Bapak (progenitor) Fundamentalisme di Amerika Serikat.  Sumbangan yang dilakukannya untuk memperkuat fundamentalisme di Amerika Serikat adalah dengan memperomosikan apa yang ia yakini yaitu ketidakbersalahan Alkitab, premillenialisme,  pentingnya kesucian dan penekanan kepada etika. 
            D. L. Moody pada mulanya adalah seorang pengusaha sepatu yang kemudian di tahun 1854 tertarik   kepada penginjilan melalui organisasi penginjilan yang dilakukan oleh organisasi pemuda YMCA (Ini adalah organisasi yang dimulai di Inggris untuk menginjili orang-orang muda di kota-kota).  Dia kemudian masuk organisasi ini dengan melepaskan usahanya yang sedang berkembang.  Dia pindah ke Chicago dan memulai pelayanan Sekolah Minggu untuk anak-anak orang miskin dan imigran.  Akhirnya dia membentuk gereja baru tahun 1864 dengan nama Illinois Street Church, suatu jemaat dengan tidak ada keterikatan dengan satu denominasi gereja.  Dia tetap aktif di YMCA dan tahun 1866 dia menjadi pimpinan YMCA  Chicago  dan dia dikenal sebagi seorang penginjil. 
            Atas keterlibatannya di YMCA dia banyak diundang oleh gereja-gereja untuk memimpin kebaktian penginjilan.  Pada akhirnya figur Moody sebagai penginjil lebih populer dari organisasi di mana dia bernaung.  Tahun 1873 Moody diundang ke Inggris untuk menyampaikan Firman Tuhan dalam kebaktian penginjilan.  Dengan dibantu oleh Ira Sankey, dia berhasil mencapai sukses besar karena melalui pelayanannya di Skotlandia menyebabkan terjadinya kebangunan rohani secara nasional.  Ini membuat namanya menjadi terkenal di dunia internasional.  Juga di tahun berikutnya Moody dan Sankey berhasil membuat terjadinya kebangunan rohani di seluruh Inggris.  Sekembalinya Moody ke Amerika tahun 1875, dia menjadi pahlawan nasional karena orang sungguh terkesan dengan keberhasilan pelayanannya di Inggris.  Dengan segera saja dia menjadi populer di Amerika dan banyak memimpin kebaktian-kebaktian penginjilan yang berskala besar.  Di samping memimpin kebangunan rohani, Moody juga mulai menjangkau dan melatih orang muda untuk penginjilan.  Di tahun 1879 di mulai mendirikan sekolah untuk para perempuan di Massachusetts, dan tahun 1881 sekolah untuk laki-laki di Mount Hermon School.  Dia juga mendukung Sekolah Alkitab baru yang dipimpin oleh Emma Dryer.    Dia juga sering mengadakan konferensi-konferensi, dan yang paling penting  adalah konferensi internasional untuk para mahasiswa di tahun 1886 dan menyebabkan terbentuknya suatu badan missi yang berpenaguruh dan bersemangat yaitu “Student Volunteer Movement”.  Badan ini menyemangati ribuan anak muda di Amerika dan Inggris untuk “penginjilan dunia pada generasi ini”.
            Pengajaran Moody lebih berfokus kepada penginjilan sebagai inti dari pengajarannya.  Ada “Tiga R” dalam pengajaran Moody: “Ruin by sin, Redemption by Christ and Regeneration by the Holy Spirit.  Atau “Dihancurkan oleh dosa, Ditebus oleh Kristus dan Dilahirkan baru oleh Roh Kudus.” Pengajarannya yang atraktif, banyak ilustrasi dan anekdot yang menyebabkan menarik perhatian pendengar.  Tidak ada yang baru dalam pengajaran Moody, kecuali dalam hal penyampaian Firman Tuhan.  Fokus pengajarannya adalah tentang kasih Allah dan bukan penekanan kepada api neraka atau murka Allah seperti umumnya yang dilakukan pengkhotbah pada waktu itu.   Dia sendiri tidak menyangkal adanya hukuman dosa, namun dia menghindari penekanan negatif terhadap Firman Tuhan dan lebih kepada pendekatan positif dalam khotbah-khotbahnya. 
            Memang Moody berbicara tentang dosa, namun dia melihat dosa sebagai godaan yang harus dijauhi.  Menurutnya ada empat godaan yang terbesar dalam masanya: 1) Bioskop; 2) Tidak menghormati Sabat; 3) Surat Kabar hari Minggu; 4) pengajaran ateis, termasuk ajaran evolusi.  Juga dia menentang dosa yang kelihatan, seperti kerakusan  kaum busines,  peminum dan pedagang minuman keras, melanggar sabat (seperti naik perahu, memancing, berburu, melakukan perjalanan, dan naik transportasi umum bahkan naik sepeda). Tetapi pendekatan Moody tentang dosa adalah bersifat personal atau sebagai tanggung jawab pribadi.  Walaupun tidak jelas disampaikan, namun Moody mengajak pendengarnya untuk tidak terlibat langsung dalam kegiatan sosial.  Dia juga menekankan kesucian hidup dan premillenialisme serta pandangan yang negatif tentang Indonesia..  Dapat disimpulkan gerakan kebangunan rohani ini umumnya adalah fokus kepada penyelamatan jiwa dan kekristenan yang praktis.
           
B.2. Hubungan Kaum Injili dengan  Aliran (Gerakan) Lainnya
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, evangelikalisme bukanlah aliran yang muncul independen atau pun aliran separatis yang terpisah atau memisahkan diri sepenuhnya dari aliran Kristen lain yang ada. Sejarah menunjukkan bahwa aliran ini muncul dalam dunia dan tradisi Kristen yang telah ada dan kemudian tetap memegang nilai-nilai agung dari keyakinan Kristen yang dianut turun-temurun.
Boleh dikatakan bahwa identitas dan teologi kaum Injili sebenarnya tumbuh dan berkembang – (hingga menjadi sedemikian rupa) secara berangsur-angsur sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan teologi yang terus bergulir dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, tidak heran jika sebermula aliran ini juga dihubungan dengan kelompok Kristen Orthodox, atau golongan konservatif. Memang tidak dapat dipungkiri jika karakter ortodox atau konservatif masih ada dalam teologi aliran ini hingga saat ini, tetapi aliran ini tidak sepenuhnya lagi berkutat pada dunia semacam itu.
Teologi tertentu telah melatarbelakangi bahkan mungkin sekaligus mewarnai lahir dan berkembangnya evangelikalisme. Dengan demikian maka pemahaman atas latarbelakang teologi yang mendorong lahirnya evangelikalisme dan teologi yang juga memperngaruhi aliran ini dalam perkembangannya perlu dimiliki. Pada bagian ini akan jabarkan secara singkat beberapa teologi atau aliran yang melatarbelakangi dan mewarnai gerakan evangelikalisme.
a. Fundamentalisme
Fundamentalisme dapat disebut sebagai nenek moyang gerakan evangelikal. Konon, gerakan evangelikal berasal dari gerakan fundamentalisme yang muncul di Amerika Serikat. The term “fundamentalist” was perhaps used in 1920 by Curtis Lee Lwas in The Baptist Watchman-Examiner, but it seemed to  pop up everywhere in the early 1920s as an obvious way to indentify someone who believe and actively defended the fundamentals of faith.[15]
Memberi definisi mengenai fundamentalisme bukanlah hal yang mudah. William E. Hordern mengatakan bahwa
The term fundamentalist ... are not easy to define. Usually these term are applied to anyone who believes in the verbal inspiration of the bible, that is, the belief that the words of the Bible aret the direct and errorless words of God. Yet, on closer inspiration, it becomes clear that fundamentalist ... was primarily interested in taking the Bible as the literal infallible word of God. Their primary interested was in the defense of orthodox Christianity. To meet the challenge to orthodoxy ..., these men choose to make the doctrine of the errorless Bibles the first line of defense.[16]

Pendapat di atas menunjukkan bahwa Fundamentalisme merupakan istilah yang biasa dipakai untuk kaum atau golongan orang-orang Kristen yang mempercayai Alkitab sepenuhnya sebagai Firman Allah yang tanpa kesalahan. Karena posisi pandangan yang demikian, kaum ini juga diidentikkan sebagai orang-orang Kristen ortodoks. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Fundamentalis adalah orang orang (-orang) yang kokoh berpegang dan mempertahankan ketidakbersalahan Alkitab.
Deskripsi yang sama mengenai Fundamentalisme juga ditunjukkan oleh James Barr. Dalam bukunya yang berjudul: “Fundamentalisme” ia memberikan ciri-ciri kaum Fundamentalisme sebagai berikut:
a.      Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (innerancy) Alkitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan apapun.
b.  Kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat kritik modern terhadap Alkitab
c.     Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pandangan keagamaan mereka sama sekali bukanlah ‘Kristen sejati’.[17]
James Barr sendiri mengakui bahwa ciri-ciri di atas, bukanlah keseluruhan ciri yang melekat pada gambaran yang umum yang dianut golongan fundamentalis. Masih diperlukan gambaran yang lebih luas untuk dapat memperoleh pemahaman yang memadai mengenai fundamentalisme.[18]
Jan S. Aritonang menyebutkan beberapa ciri dari kaum Fundamentalisme, yaitu; a). Pengilhaman dan kemutlakan Alkitab (Verbal Inspiration); b). Keilahian Kristus dan kelahiran-Nya dari anak dara perawan; c). Kematian Kristus sebagai ganti dan penebus dosa; d). Kebangkitan Yesus secara jasmani; e). Kedatangan Kristus yang kedua kali; f). Penekanan pada pengudusan pribadi.[19]
Jika diperhatikan, deskripsi dan ciri-ciri kaum fundamentalisme yang disebutkan di atas sebagian besar merupakan ciri yang terdapat juga pada kaum evangelikal, khususnya evangelikal konservatif. Hal ini dapat dimengerti, mengingat istilah ‘fundamentalisme’ juga digunakan secara luas dan merujuk kepada konservatifisme evangelikal manapun, yang meninggikan Alkitab dan klaim-klaimnya yang fundamental. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah J. I. Packer, yang menggunakan pengertian fundamentalisme dalam konteks yang demikian.[20]
Fundamentalisme lahir sebagai suatu gerakan yang bertujuan untuk mengokohkan keyakinan Kristen mula-mula dan mempertahankannya terhadap serangan-serangan dari teologi-teologi atau isme-isme modern, yang khususnya begitu gencar terjadi di Amerika dan Eropa. Dalam Evangelical Dictionary of Theology dijelaskan bahwa fundamentalisme adalah:

A movement that arose in the United States during and immediately after First World War in order to reaffirm orthodox Protestant Christianity and to defend in militantly against the chellenges of liberal theology, German higher criticsm, Darwinism, and other isms regarded as harmful to American Christianity. Since then, the focus of the movement, the meaning of the term, and the ranks of those who willingly use the term to identify themselves has changed several times. Fundamentalism has so far gone through four phases of expression while maintaining an essential continuity of spirit, belief and method.[21]

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa fundamentalisme merupakan gerakan yang berniat mulia, yaitu ingin meneguhkan dan mempertahankan keyakinan Kristen yang mendasar dari serangan teologi, pengetahuan dan filsafat modern. Dalam perkembanganya, fundamentalisme ber-metamorfosa, sehingga fokus dan makna gerakan ini terus berubah-ubah sesuai dengan konteks pergumulan yang dihadapi. Dalam perkembangan terakhir, telah ada golongan fundamentalis yang menjadi sangat militan hingga memisahkan diri sedemikian rupa dan kemudian menjadi separatis. Pada tahun 1930, fundamentalis mengambil ekspresi gerejawi yang berbeda. Makin lama fundamentalis yang paling militan merasa bahwa mereka harus memisahkan diri dari grup-grup yang berisi modernis, dan membentuk jemaat independen atau denominasi independen.[22] Golongan atau kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai Fundamentalis-separatis.
Dalam perkembangan sejarah, Fundamentalisme dan Evangelikalisme berkaitan dan berhubungan dalam banyak hal. Evangelical Dictionary of Theology mencatat persamaan dan perbedaan kaum fundamentalis dan evangelikal sebagai berikut:

Fundamentalists and evangelicals is the 1950s and 1960s shared much; both adhered to the traditional doctrine of Scripture and Christ; both promoted evangelisme, revivals and missions, and personal morality against smoking, drinking, theater, movies, and card-playing; both identified American values with Christian values; both believed in creating organizational networks that separated themselves from the rest of the society. However, fundamentalists believed they differred from evangelicals and neoevangelicals by being more faithful to Bible-believing Christianity, more militant against church apostasy, comunism, and personal evils, less ready to cater to social and intelectual repectability. They tended to oppose Billy Graham, not to read Christianity Today, and not to support Wheaton College or Fuller Theological Seminary. Instead they favores their own evangelists, radio preachers, newspapers and schools. Fundamentalists tended to differ greatly among themselves and found it difficult to achieve widespread fundamentalist cooperation.[23]

Dengan memperhatikan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa fundamentalisme dan evangelikalisme memiliki hubungan yang erat. Fundamentalisme mewariskan sedikit banyak prinsip dan pemahaman teologi pada evangelikalisme, yang mana terlihat dalam ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan kaum evangelikalisme itu sendiri. Salah satu sifat yang bertolak belakang dengan kaum evangelikalisme, yang dimiliki kaum fundamentalisme adalah kecenderungannya memisahkan diri (separatis). Kaum evangelikalisme justru memiliki kecenderungan yang sebaliknya; membuka diri dan berusaha diterima/berbaur; mereka tidak mau memisahkan diri, meskipun mereka juga membentuk aliansi dikalangan mereka sendiri.[24] Sayangnya, fundamentalisme kemudian menjadi gerakan yang memprihatinkan. Harun Hadiwijona menulis;

Mereka makin lama makin mengurung diri dalam kurungan yang dibuatnya sendri. Demi mempertahankan diri sebagian dari mereka mengembangkan suatu prasangka anti intelektual yang mendalam, mencurigai kesarjanaan, acuh tak acuh terhadap nilai pemakaian akal dalam soal-soal agama, keras dan kejam dalam sikap terhadap alasan-alasan para penentangnya. Golongan fundamentalisme ini tidak memiliki keberanian teologis dan tidak memperhatikan ilmu secara Kristiani, sehingga mereka menjadi gersang secara intelektual. Kebudayaan dicurigai, tanggung jawab terhadap kesaksian sosial Kristen diserahkan kepada para penganjur Social Gospel. Mereka hanya berpaling pada diri sendiri dan membatasi perhatian mereka pada pemasyuran Injil dan pengusahaan hidup keagamaan pribadi. Karena kaum fundamentalis mengabaikan sejarah maka mereka kehilangan kaitan dengan masa lampau dan menyerahkan nasib mereka pada zaman sekarang. Gerakan ini kehilangan kedalaman dan keteguhan.[25]

Apa yang dikatakan oleh Harun Hadiwijono dalam kutipan di atas, seolah-olah menunjukkan bahwa fundamentalis telah berkembang menjadi aliran yang negatif. Tetapi, bagaimanapun juga, fundamentalisme telah menjadi gerakan yang bisa memberikan sumbangsih positif dalam perkembangan teologi Kristen. Boleh juga ditambahkan bahwa dengan adanya fundamentalisme, keyakinan iman dan kesetiaan pada Firman Allah dapat selalu terjaga dalam gereja dari waktu ke waktu. Melihat kepada derasnya arus ilmu pengetahuan dan filsafat, sulitnya rasanya gereja dapat bertahan dalam  ajaran yang benar dan keyakinan yang kokoh pada Alkitab sebagai firman Allah tanpa sikap fundamentalisme.
b. Pietisme.[26]
Pietisme merupakan gerakan yang juga memberikan warna dalam perkembangan gerakan Injili. Pietisme adalah suatu gerakan kesalehan di dalam gereja Protestan di Eropa. Gerakan ini menekankan kesalehan pribadi disamping pengajaran yang benar. Gerakan ini kemudian menjadi gerakan pembaharu kerohanian di Jerman, dam merambat ke Inggris dengan nama Puritanisme.
Beberapa karakteristik pietisme adalah
Pertama, Gerakan ini menekankan kesalehan pribadi.  Ajaran gereja atau Alkitab yang benar akan menghasilkan suatu kesalehan yang harus diterapkan dalam kehidupan orang percaya.  Di sini pentingnya pengalaman keselamatan yang bersifat pribadi.  Mereka menekankan apa yang disebut praxis pietatis yaitu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang walaupun digemari banyak orang.  Kehidupan mereka umumnya sederhana dan menghindari dosa.  Walaupun menghindari hal-hal yang disenangi banyak orang, namun mereka tidak menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat.
Kedua,gerakan ini membentuk kelompok-kelompok kecil untuk mengadakan pemahaman Alkitab bersama, melakukan perbuatan kasih, melakukan pekabaran Injil dan kegiatan sosial lainnya.  Kelompok ini seperti menjadi gereja kecil di dalam gereja  (ecclesiola in ecclesia). 
Ketiga, gerakan ini menekankan keimamatan orang percaya yaitu bahwa setiap orang terlibat dalam pelayanan untuk memelihara iman Kristen.  Ini sebagai reaksi dari gereja yang terlalu berfokus kepada pendeta saja.
Keempat, kembali kepada Alkitab di mana Alkitab dipeajari dalam PA untuk menjadi petunjuk dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup saleh.  Ini terjadi karena gereja berfokus kepada konfesi saja dan memakai Alkitab sebagai bukti teks saja.
Kelima, gerakan ini memiliki konsep penantian terhadap kerajaan Allah.  Kerajaan Allah adalah suatu yang riil dan orang percaya harus memajukan kedatanganNya.  Untuk itu masyarakat harus hidup sesuai dengan Firman Allah.  Itu sebabnya orang Pietis sangat menekankan pendidikan dengan penekanan kepada kekudusan dan tingkah laku orang percaya.  Mereka bersemangat dalam memberitakan Injil karena dengan diinjilinya suku-suku bangsa itu, kedatangan Tuhan Yesus bisa dipercepat.  Mereka juga sangat terbeban untuk mentobatkan Israel karena dengan pertobatan bangsa ini, maka kedatanganNya sudah diambang pintu.  Mereka berharap gereja Protestan bersatu, namun menghendaki supaya gereja Katolik runtuh karena Paus dan gereja Katolik dianggap sebagai Babel (Di dalam Wahyu datangnya kerajaan Allah ditandai dengan kejatuhan Babel).
Karakteristik pietisme diatas, rupanya terdapat juga dalam azas kaum Injili. Nada pengajaran kaum Pietis hampir sama dengan kaum Injili; menekankan pada kekudusan hidup, kewibawaan Alkitab, pengajaran Alkitab yang benar, pemberitaan Injil dan konsep eskatalogis. Persamaan-persamaan karakteristik ini mungkin tidak mengindikasikan bahwa kaum Injili mengambil ajaran kaum Pietisme tetapi lebih menunjukkan sikap keterbukaan dan penerimaan (yang juga dapat dipahami sebagai kesetujuan) kaum Injil terhadap aliran lain sejauh ajarannya sesuai dengan keyakinan kaum Injili sendiri.

c. Dispensasionalisme[27]
Dispensasionalisme adalah sistim teologia yang memiliki dua ciri khusus, pertama, Penafsiran Alkitab yang secara harafiah dan konsisten, khususnya dalam hal nubuatan Alkitab, kedua, Perbedaan antara Israel dan Gereja dalam rencana Tuhan.
 Kaum dispensasi mengklaim bahwa prinsip hermeneutika mereka adalah penafsiran secara harafiah. “Penafsiran harafiah” berarti setiap kata memiliki arti sebagaimana digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam metode ini, simbol, kata-kata kiasan dan tipe ditafsirkan secara sederhana dan tidak boleh bertolak belakang dengan penafsiran secara harafiah. Bahkan dibalik simbol dan kalimat-kalimat figuratif terkandung makna secara harafiah.
Ada paling sedikit tiga alasan mengapa ini adalah cara paling baik untuk menafsirkan Alkitab. Pertama, secara filosofis, tujuan dari bahasa menuntut kita untuk menafsirkannya secara harafiah. Bahasa diberikan Allah dengan maksud untuk berkomunikasi dengan manusia. Alasan kedua adalah alasan Alkitabiah. Setiap nubuat mengenai Tuhan Yesus digenapi secara harafiah. Kelahiran Yesus, pelayanan Yesus, kematian dan kebangkitan Yesus semua terjadi persis dan secara harafiah sesuai dengan apa yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Baru tidak ada penggenapan dari nubuat-nubuat yang tidak secara harafiah. Hal ini membuktikan metode harafiah dengan kuat sekali. Jikalau penafsiran secara harafiah tidak digunakan dalam mempelajari Alkitab, tidak akan ada standar yang obyektif yang untuk mengerti Alkitab. Setiap orang bebas menafsirkan Alkitab dengan semau mereka. Penafsiran Alkitab akan dicemarkan dan menjadi, “apa yang bagian Alkitab ini bicara kepada saya …” dan bukannya “Alkitab berkata …” Sayangnya hal ini telah banyak terjadi dengan apa yang disebut dengan penafsiran Alkitab pada saat sekarang ini.
Teologia Dispensasi percaya bahwa ada dua macam umat Tuhan yang berbeda satu dengan yang lain: Israel dan Gereja. Kaum Dispensasi percaya bahwa keselamatan selalu berdasarkan iman (dalam Perjanjian Lama kepada Tuhan; dan dalam Perjanjian Baru kepada Anak Allah). Kaum Dispensasi percaya bahwa Gereja tidak menggantikan Israel dalam rencana Tuhan, dan bahwa janji-janji kepada Israel dalam Perjanjian Lama tidak dipindahkan kepada Gereja. Mereka percaya bahwa janji-janji yang dijanjikan kepada Israel (untuk tanah, keturunan yang banyak, dan berkat) pada akhirnya akan dipenuhi dalam masa 1,000 tahun yang disebut dalam Wahyu 20. Mereka percaya bahwa sebagaimana Allah pada zaman ini memusatkan perhatianNya kepada gereja, pada masa yang akan datang Dia akan kembali memusatkan perhatian kepada Israel (Roma 9 – 11).
Dengan berdasarkan sistim ini, kaum Dispensasi membagi Alkitab dalam tujuh Dispensasi: Kepolosan (Kejadian 1:1 – 3:7), Hati Nurani (Kejadian 3:8 -8:22), Pemerintahan Manusia (Kejadian 9:1 – 11:32), Janji (Kejadian 12:1 – Keluaran 19:25), Hukum Taurat (Keluaran 20:1 – Kisah Rasul 2:4), Anugrah (Kisah Rasul 2:4 – 11:32), dan Kerajaan Seribu Tahun (Wahyu 20:4 – 20:6). Sekali lagi dispensasi-dispensasi ini bukanlah jalan keselamatan, tapi cara-cara Allah berhubungan dengan manusia. Dispensasionalisme sebagai sistim menghasilkan penafsiran pramillenial terhadap Kedatangan Kristus yang Kedua Kali, dan umumnya penafsiran Pengangkatan Orang Percaya secara Pratribulasi.

 C. PENGAJARAN (AZAS) EVANGELIKAL

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, evangelikalisme memiliki kaitan yang erat dengan fundamentalisme. Oleh sebab itu, pengajaran Evangelikalisme tidak jauh berbeda dengan fundamentalisme. Berikut ini pokok-pokok asas kaum Injili yang utama, yaitu
v Alkitab adalah Firman Allah.
Bagi kaum Injili, Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan tanpa salah, merupakan pedoman hidup satu-satunya. Keyakinan ini dipertegas dalam Lausanne Covenant yang berbunyi: “Kami meyakini secara tegas keilhaman, kebenaran, dan kekuasaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara keseluruhan sebagai satu-satunya Firman Allah yang tertulis, tanpa salah dalam pernyataannya, dan ialah satu-satunya pedoman yang benar bagi iman dan peraktek hidup. Pernyataan yang sama ditegaskan oleh kaum injili di Chicago USA dalam konferensi tentang Innerrancy of the Scripture yang intinya menyatakan bahwa Kitab suci adalah Firman Allah satu-satunya yang diberikan tanpa salah seluruhnya.[28]
Keyakinan pada otoritas Alkitab sebagai satu-satu Firman Allah dan tanpa salah merupakan keyakinan yang mendasar yang dianggap sebagai ciri khas utama teologi injili. Bahkan, keyakinan dianggap sebagai keyakinan yang membedakan seorang injili dan non Injili. Sebuah organisasi gereja atau badan atau kristen bahkan sekolah teologia apa pun dapat dianggap tidak Injili kalau tidak memiliki keyakinan yang demikian.
Pengilhaman merupakan pokok yang penting dalam doktrin kaum Injili. C. C. Ryrie sebagai seorang tokoh Injili menyatakan bahwa teori pengilhaman yang dianut kaum Injili adalah teori pengilhaman verbal. Ia menjelaskan bahwa:

Pengilhaman harfiah (verbal inspiration) bukan berarti bahwa Allah menyerahkan Alkitab – … kepada manusia dalam bentuk buku dengan jilid yang tebal. Dan bukan pula berarti bahwa penulis-penulisnya adalah juru tulis yang beritanya didikte Allah kata demi kata. Melainkan berarti bahwa Allah mengarahkan para pengarang dengan menggunakan gaya dan minat mereka, memimpin mereka dengan Roh Kudus, sehingga berita ilahi dinyatakan dengan tepat dalam naskah-naskah asli. …
Doktrin kita yaitu pengilhaman harfiah juga berarti bahwa kita dalam menentukan teks (bukan dalam pengertian makna teks) teks itu tidak dapat salah dan bahwa setiap perkataan termasuk bentuk kalimat tunggal dan jamak dan bentuk waktu adalah tepat seperti yang dikehendaki Allah.[29]

 Berdasarkan pendapat tersebut, jelaslah bahwa kaum Injili menerima Alkitab sebagai Firman Allah apa adanya; yang benar, berotoritas, dan tanpa salah. Mungkin karena pemahaman yang semacam ini juga (pengilhaman verbal), kaum Injili memiliki kecenderungan untuk memahami dan menafsirkan Alkitab apa adanya (literal). Selain itu, pengaruh dispensasionalisme juga mungkin ada dalam hal ini.
Alkitab bagi orang Injili adalah satu-satunya ukuran bagi segala presuposisi, asumsi, pemahaman bahkan perilaku mereka. Militansi kaum Injili terhadap Alkitab tidak diragukan lagi. Alkitab adalah segala-galanya. Sama seperti kaum fundamentalisme, kaum Injili sangat menjunjung tinggi Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas. Namun, semua sikap terhadap Alkitab yang dimiliki oleh kaum Injili memiliki perbedaan yang mendasar dengan kaum fundamentalisme. Kaum fundamentalisme cenderung memiliki sikap yang negatif karena prinsip yang sama. Mereka menjadi orang-orang yang sempit dan menolak segala hal yang bersifat Ilmiah (pengetahuan) yang berkaitan dengan Alkitab karena beranggapan bahwa hal-hal yang ilmiah cenderung merongrong otoritas Alkitab. Sebaliknya, kaum Injili tetap membuka diri terhadap dialektika ilmu pengetahuan dan Alkitab, namun tetap memegang prinsip yang mereka yakini. Kaum Injili justru mengambil hal-hal yang positif dari ilmu pengetahuan untuk meneguhkan otoritas dan ketanpasalahan Alkitab.
Dengan demikian, kaum Injili menerima Alkitab apa adanya. Bagi mereka, apa yang ditulis dalam Alkitab harus diterima dan diyakini sebagai Firman Allah yang berotoritas. Pandangan ini tentu saja berbeda dengan pandangan teologi kontemporer lainnya seperti aliran historis kritis yang cenderung mengkritisi segala yang tertulis di dalam Alkitab. Alkitab dilihat hanya sebuah dokumen sejarah kuno yang harus dinilai dan kritik oleh akal manusia.[30]Pola pikir filsafat (seperti Humanisma dan Eksistensialisme) merupakan prinsip yang dipakai dan dipegang oleh aliran ini dalam mengkritisi Alkitab.
Karena kaum Injili menerima apa yang tertulis dalam Alkitab, maka kaum ini mengakui adanya mujizat. Berkaitan dengan mujizat, mereka menentang tegas gerakan rasionalisme, modernisme, dan sekularisme yang mengabaikan unsur mujizat dalam iman Kristen. Kaum Injili tetap yakin bahwa Tuhan Yesus yang Maha Kuasa itu tidak berubah, baik kemarin, hari ini dan sampai selama-lamanya. Oleh sebab Tuhan Yesus tidak berubah, maka mukjizat pun masih terjadi hingga saat ini.[31]
v Solus Christus
Solus Christus berarti keselamatan hanya oleh Yesus. Prinsip ini berkaitan dengan Kristologi dan Soteriologi, bahwa hanya melalui Kristus manusia dapat diselamatkan; bahwa manusia dapat diterima oleh Allah hanya di dalam Kristus. Kristus-lah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Melalui kematiannya di kayu salib, Kristus menjadi jalan pendamaian antara Allah dan manusia.
Kaum Injili percaya bahwa Kristus mati bagi dosa-dosa manusia. Bagi kaum Injili, mengatakan bahwa ”Kristus menanggung dosa kita sama pengertiannya dengan Kristus mati bagi dosa kita”, karena Dia tidak dapat menanggung dosa mereka tanpa mati (berkorban) bagi mereka.[32] Kristus mati bagi orang berdosa, sehingga melalui kematiannya ia mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah Bapa. Tanpa menanggung dosa manusia, pendamaian itu tidak mungkin terjadi dan bahwa Ia tidak dapat menanggung dosa manusia tanpa mati di kayu salib.
Pada masa reformasi, ajaran Solus Christus telah dikembangkan dalam sebuah konteks ekklesiologis. Hal ini telah melahirkan pemahaman tersendiri sebagaimana yang berlaku dalam gereja Roma Katolik; extra ecclesia nulla salus. Berdasarkan pemahaman inilah Gereja Roma Katolik membangun doktrin ekklesiologi bahwa keselamatan hanya dapat dicapai dengan melakukan upacara-upacara gereja, menerima dan mempercayai ajaran gereja yang kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari peran (otoritas) para pemimpin atau pejabat gereja.
Bagi kaum Injili, Kristus merupakan merupakan pusat pemberitaan gereja (orang percaya). Kaum Injili percaya bahwa Kristus dapat ditemui dalam setiap Kitab (Kejadian – Wahyu), karena Alkitab pada intinya menyatakan siapa Kristus dan bagaimana Ia berkarya bagi umat-Nya. Munculnya penekanan pada rasio dan filsafat tidak membuat kaum Injili beralih dari keyakinannya terhadap Kristus sebagai Anak Allah dan Anak Manusia.

Ajaran tentang Keselamatan
Sebagaimana telah disinggung di atas, kaum Injili percaya sepenunya bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Manusia yang berdosa hanya dapat diselamatkan jika ia percaya dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.
Sehubungan dengan keselamatan, maka tema penting dalam teologi Injili adalah pertobatan (conversion). Dalam perspektif kaum Injili pertobatan berarti meninggalkan dosa dan berpaling (beriman) kepada Kristus. Untuk memperoleh keselamatan, seseorang harus bertobat sungguh-sungguh, meninggalkan dosanya dan percaya keoada Kristus. Menurut kaum Injili, keselamatan adalah seratus persen karya Allah tetapi manusia memiliki tanggung jawab penuh untuk datang dan menerima keselamatan yang dari pada Tuhan. Manusia harus bertobat kepada Tuhan menerima keselamatan dari Tuhan. Pertobatan merupakan taspek yang progressif dalam kehidupan Kristen. Slogan “pertobatan sehari-hari” (artinya pertobatan yang terus menerus) merupakan prinsip yang dipegang teguh oleh kaum Injili. Dalam hal ini, pertobatan dikaitkan dengan kerinduan dan komitmen untuk hidup kudus.
Sehubungan dengan pokok ini maka “kelahiran baru” (regeneration) merupakan ajaran penting dalam hal ini. Bagi kaum Injili, seseorang hanya dapat diselamatkan jikalau ia telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus. Selain itu, topik-topik mengenai pemilihan (election), penebusan (redemption), pendamaian (reconciliation), pembenaran (justification), pengudusan (santification), kesatuan dengan Kristus (union with Christ), dan pengangkatan (adoption), juga merupakan ajaran-ajaran yang dianggap penting dalam doktrin keselamatan kaum Injili, meskipun tidak sehebat Calvinisme.
Berkaitan dengan prinsip ini, bagi kaum Injili, keselamatan ditawarkan dan disediakan bagi setiap orang. Oleh sebab itu, Injil harus diberitakan kepada segala bangsa tanpa terkecuali. Amanat Agung merupakan perintah yang tidak bisa ditawar-tawar. Penginjilan adalah tugas wajib bagi orang percaya (baca: gereja). Semangat kaum Injili dan komitmennya bagi pelayanan misi (Penginjilan) merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam poin ini, kaum Injili sangat menonjol dibandingkan dengan aliran-aliran lainnya.[33]
Tema kedua dalam soteriologi Injili adalah iman. Iman merupakan syarat mutlak untuk menerima keselamatan. Memang tidak dapat dibantah bahwa dalam semua aliran teologi Kristen, iman merupakan pokok yang penting. Ketika seseorang menjadi Kristen, maka ia masuk dan memulai kehidupan yang baru, yang disebut sebagai kehidupan beriman.
Iman merupakan dasar utama dalam kehidupan Kristen. Bagi kaum Injili, iman merupakan fondasi yang harus berakar dan bertumbuh dalam praktek kehidupan sehari-sehari. Iman merupakan suatu sikap hati yang bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam menjalani dan menghadapi segala pergumulan hidup. Chris Marantikan mengatakan bahwa berkaitan dengan ini, maka doa mendapat tekanan penting dalam segala kegiatan kaum Injili di segala bidang hidup. Hal ini telah mendorong timbulnya banyak kelompok doa (termasuk di Indonesia), yang disamping bermanfaat bagi pemberitaan dan pengajaran juga bagi komunikasi dengan Allah secara berkelompok.[34]

Ajaran tentang Penciptaan[35]
Semua kaum Injili setuju bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan manusia adalah ciptaannya yang unik. Tetapi mengenai proses penciptaan, belum ada keseragaman pendapat diantara teolog Injili. Sebagian tokoh Injili menolak teori Evolusi,sementara yang lain berpendapat bahwa proses penciptaan dalam Kejadian 1-2 merupakan proses yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Mereka yang berpendapat demikian disebut penganut teistik evolusionis dalam aliran Injili. Sedangkan yang lain yang disebut aliran Literalis, menyakini dan mempertahankan bahwa penciptaan terjadi dalam 6 hari sebagaimana yang ditulis dalam Alkitab.
Tahun 1955 seorang teolog aliran Injili (Bernard Ramm) berteori bahwa Allah menciptakan dunia ini secara progressif. Ia menyebut konsep ini dengan sebutan “Progressive Creatonism.” Empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 1959 Edward J. Carnell mengemukakan teori “Threshold Evolution” mengenai penciptaan. Dalam teori ini ia mencoba untuk memecahkan masalah “the great age of the earth and the man.” Pertengahan tahun 1960, Henry Morris mencoba mengawinkan tafsiran literal terhadap Kejadian 1-2 dengan ilmu pengetahuan yang kemudian menghasilkan teori “Scientific Creatonism.” Beberapa kecenderungan lainnya adalah usaha de-scientisasi terhadap Kejadian 1-2, dimana kisah penciptaan tidak boleh dianggap sebagai “detail scientific data”, tetapi sebagai “framework” yang menyatakan kebesaran dan totalitas penciptaan dalam tangan Allah.

Ajaran tentang Akhir Zaman (Eskatalogi)
Mengenai ajaran Eskatalogi, kaum Injili berbeda dengan kaum Fundamentalis. Kaum Injili setuju bahwa pusat atau titik utama dalam Eskatalogi adalah kedatangan Kristus yang kedua kali, tetapi dalam hal milenialisme tokoh-tokoh kaum Injili memiliki berbagai perspektif yang luas. Pandangan mengenai milenialisme setidaknya terbagi dalam empat kubu, yaitu Premilenialisme-Historis (tokohnya George E. Ladd), Premilenialisme-Dispensasional (tokohnya Herman Hoyt), Postmilenialisme (tokohnya Loraine Boettner) dan amilenialisme (tokohnya Anthony Hoekma).
Parousia merupakan pokok utama dalam ajaran Eskatalogi Injili. Meskipun dalam pengajaran mengenai tanda-tanda yang mendahului parousia tokoh-tokoh Injili mungkin tidak sama persis, tetapi mereka sepakat bahwa fakta Eskatalogi yang paling penting adalah kedatangan Kristus yang kedua kali. Umat manusia hanya diperhadapkan dalam dua pilihan, ke Surga atau Neraka. Perkembangan terakhir mengenai pandangan Evanjelikal dalam hal Eskatalogi digambarkan sebagai berikut
More and more evangelical have been moving away from the Agustinian position of eternal concious torment toward conditional immortality and annihilationism. In 1988, the evangelical world was set abuzz with the discovery that one of its leading lights, John R. W. Stott, believe that God would extingush the wicked rather than allow them to be tortured for eternity. And there are a few evangelicals who adhere to a variety of universalism (albeit higly qualified). The overhelming number of evangelicals, however, hold the eternal separation of God and punishment of the wicked (whatever that punishment be concious or unconcious).[36]

Ajaran tentang Dunia dan Lingkungan[37]
Ajaran kaum Injili yang lain adalah “asas mandat ilahi.Bagi kaum Injili menjadi seorang Kristen berarti menjadi warga negara sorga dan dunia, mengemban dalam dirinya mandat ilahi berganda. Disatu pihak ia, bersama umat manusia laiannya, apa pun latar belakang kepercayaan mereka, mengemban “mandat ilahi pembangunan (kultural),” yang mendatang menata dunia ini sebagai tempat yang baik untuk dihuni. Mandat ini bersifat ilahi karena diberikan Allah sendiri sebelum kejatuhan manusia (lih. Kej. 1:28;2:15). Agen tunggal bagi mandat ini ialah negara yang merupakan kumpulan masyarakat manusia yang berbeda-beda agama, yang telah dipersatukan oleh latar belakang yang sama, dalam wawasan yang sama bertekad mengurus atau menata diri bersama.
Di pihak lain, kaum Injili percaya bahwa kepada umat Kristiani secara eksklusif, sebagai warga kerajaan Allah, dibebankan  “Mandat Ilahi Pembaharuan (Spiritual),” yang bertujuan menjadikan manusia itu hidup baru melalui kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus lantaran iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Mandat ini diberikan Allah sesudah kejatuhan manusia dalam dosa, dan berlaku sampai kedatangan Tuhan Yesus yang Kedua Kali.

 D. Evaluasi
Melalui pemaparan di atas, beberapa catatan atau hal penting yang dapat diambil mengenai evangelikalisme adalah
Pertama, evangelikalisme adalah aliran yang lahir dalam dan dari tradisi Kristen mula-mula. Ketika gereja (Katolik) mulai cenderung menjalankan dan membangun gereja dengan berbagai doktrin dan pemahaman manusia, masih ada sekelompok orang yang dengan setia mempraktekan dan mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran sebagaimana yang dikatakan Alkitab. Dalam perkembangan selanjutnya, kaum evangelikalisme tetap teguh pada sikap yang sama, khususnya dalam menghadapi tantangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teologi yang orientasinya berujung pada keraguan dan penolakan akan wibawa dan otoritas Alkitab.
Kedua, evangelikalisme merupakan gerakan yang dinamis dan terbuka. Tidak seperti nenek moyangnya (fundamentalisme) yang cenderung menutup diri dan separatis, evangelikalisme tetap membuka diri terhadap isu-isu perkembangan zaman, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teologi. Dalam sikap keterbukaan itu, evangelikalisme bukanlah tipe aliran yang mudah terbawa arus, walaupun kadang kala ia sendiri tidak dapat menentukan atau memberi batasan yang tegas dimana ia berdiri. Sifat yang dinamis dan terbuka inilah yang membuat evangelikalisme menjadi aliran yang mudah diterima oleh berbagai denominasi gereja yang ada, termasuk di Indonesia. Dalam hal ilmu pengetahuan, evangelikalisme memanfaatkannya dengan mengambil sisi positif ilmu pengetahuan untuk meneguhkan keyakinannya akan Injil. Evangelikalisme pun tidak enggan mengembangkan misi dan pemberitaan Injil dengan sarana-sarana atau unsur-unsur ilmu pengetahuan yang ada.Dengan demikian mungkin boleh dikatakan bahwa evangelikalisme merupakan aliran teologi yang bersifat moderat.
Ketiga, evangelikalisme merupakan aliran yang paling terkenal dengan semangat penginjilannya. Aliran ini juga secara aktif memprakarsai tindakan sosial yang nyata sebagai wujud dari pemahaman akan Injil. Meski diakui ada juga aliran lain yang melakukan hal sama, tetapi evangelikalisme mengungguli semuanya. Sayangnya, semangat penginjilan ini seringkali tidak ditunjang oleh semacam program tindak lanjut yang efektif, sehingga ladang Tuhan yang telah dibuka, dapat terus dipertahankan dan ditumbuh-kembangkan. Hal ini terlihat jelas dalam sejarah penginjilan beberapa gereja Injili di Indonesia misalnya.
Walaupun evangelikalisme memiliki banyak hal yang baik dan positif yang tidak dimiliki aliran teologi yang lain, tetapi ada beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikanoleh kaum ini, diantaranya;
Pertama, evangelikalisme tidak mudah (atau tidak dapat) menunjukkan identitas dirinya secara jelas dan tegas. Dalam bahasa profan, teologi kaum evangelikal adalah teologi yang suka ada “di sana”, “di sini” dan “di mana-mana.” Dari satu sisi, hal ini kelihatannya bukanlah suatu masalah yang serius. Tetapi bagaimanapun juga, evangelikalisme harus berusaha sedapat-dapatnya menentukan jati dirinya sendiri, menentukan batasan-batasan dan dasar pijaknya dalam berteologi, meskipun memang tidak dapat dikatakan sebagai teologi Injili murni (karena tidak ada satu teologipun yang tidak berakar dari pola teologi yang sudah pernah ada sebelumnya).
Kedua, sebagaimana dilihat dalam sejarahnya, evanjelikalisme adalah aliran yang mudah terpecah dalam dirinya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dalam perkembangan teologi Injili yang cenderung berbeda mengenai salah satu ajaran (misalnya tentang penciptaan atau Eskatalogi). Perbedaan pandangan ini mungkin disebabkan karena pengaruh ilmu pengetahuan dan kaum ini berusaha untuk menjembati problematika ilmu pengetahuan dan Alkitab, ataupun juga sekedar bertujuan untuk memberi alternatif terhadap beragam pandangan dalam teologia Kristen yang muncul. Dari sudut ini, niat kaum Injili patut dihargai. Tetapi disisi lain celah perpecahan internal bisa terbuka. Bukan tidak mungkin “perang dingin” terjadi dikalangan teolog Injili. Hal ini harus diwaspadai dan disikapi dengan bijak. Perbedaan boleh ada, tetapi perbedaan itu seharusnya dianggap sebagai bentuk kekayaan pemikiran yang membuat teologi Injil menjadi lengkap, bukan sebagai alasan untuk perpecahan.

 Daftar Pustaka

Kamus, Ensiklopedi

Elwell, Walter A. (ed.), Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids: Baker Book House, 1984.

Ferguson,Sinclair B. David F. Wright and J. I. Packer (ed), The New Dictionary of Theology, Jil. 2. Malang: SAAT, 2009.

Grolier Academic Encyclopedia Vol. 6: E. USA: Grolier International, 1983.

The World Book Encyclopedia Vol. 6. USA: World Book, 1995.


Buku

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Barr,James.Fundamentalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Hadiwijono,Harun.Teologi Reformatoris Abad ke 20. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Hordern,William E. A Layman’s Guide to Protestant Theology, Revised Edition (New York: Macmillan Publishing Company, 1955.

Jonge, Christiaan de.Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Lane,Tony.Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Linnemann, Eta.Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga. Malang: Institute Injil Indonesia, 1991.

Livingstone, James C. and Francis Schusser Fiorenza, Modern Christian Thought: The Twentieth Century, Second Edition. Mineapolis: Fortress Press, 2006.

Marantika, Chris.Kaum Injili Indonesia Masa Kini. Surabaya: YAKIN, t.t.

Marsden,George M. Fundamentalisme and American Culture: The Shapping of Twentieth-Century Evangelicalism 1870-1925. Oxford: Oxford University Press, 1982.

Packer,J. I. Fundamentalism and The Word of God. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1966.

Ryrie,Charles Cadwel.Teologia Kekinian. Surabaya: Yakin, t.t.

Smith,David L. A Handbook of Contemporary Theology: Tracing Trends and Discerning Directions in Today’s Theological Landscape. Michigan: Baker Books, 1992.

Wells,David F. “Evangelical Theology” dalam David F. Ford dan Rachel Muers, The Modern Theologians: An Introduction to Christian Theology since 1918. Australia: Balckwell Publishing, 2005.

 Internet

Mengenal Kaum Injili, tersedia di http://www.suplemengki.com/mengenal-kaum-injili/ diakses tgl 7 Agustus 2013

Dispensasionalis, tersedia di http://www.gotquestions.org/Indonesia/dispensasionalisme.html, diakses tgl. 26 September 2013


[1]Mengenal Kaum Injili, tersedia di http://www.suplemengki.com/mengenal-kaum-injili/ diakses tgl 7 Agustus 2013
[2]Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini (Surabaya: YAKIN, t.t.), 8.
[3]Grolier Academic Encyclopedia Vol. 6: E (USA: Grolier International, 1983), s.v. “evangelicalism”
[4]Mengenal Kaum Injili, tersedia di http://www.suplemengki.com/mengenal-kaum-injili/ diakses tgl 7 Agust. 2013.
[5]Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 228.
[6]The World Book Encyclopedia Vol. 6 (USA: World Book, 1995), s.v. “Evangelicalism”
[7]James C. Livingstone and Francis Schusser Fiorenza, Modern Christian Thought: The Twentieth Century, Second Edition (Mineapolis: Fortress Press, 2006), 387.
[8]The World Book Encyclopedia, Vol.6, s.v. “Evangelicalism”
[9]Grolier Academic Encyclopedia, Vol. E, s.v. “Evangelicalsm”
[10]The World Book Encyclopedia, Vol.6, s.v. “Evangelicalism”
[11]Biografi tokoh ini yang dimuat dalam tulisan ini sepenuhnya di ambil dari karya: Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 179-182
[12]Ibid., hlm. 207-209
[13]Ibid., hlm. 203-205, dan Sinclair B. Ferguson, David F. Wright and J. I. Packer (ed), The New Dictionary of Theology, Jil. 2 (Malang: SAAT, 2009), 106-107
[14]Bagian ini sepenuhnya diambil dari tulisan Dr. Daniel Ronda  yang disarikan dari George M. Marsden, Fundamentalisme and American Culture: The Shapping of Twentieth-Century Evangelicalism 1870-1925, (Oxford: Oxford University Press, 1982), 33-35.
[15]Walter A. Elwell (ed.), Evangelical Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker Book House, 1984), s.v. “Fundamentalism”
[16]William E. Hordern, A Layman’s Guide to Protestant Theology, Revised Edition (New York: Macmillan Publishing Company, 1955), 57
[17]James Barr, Fundamentalisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 1.
[18]Ibid., hlm. 1-2.
[19]Aritonang, Berbagai Aliran . . ., 233.
[20]J. I. Packer, Fundamentalism and The Word of God (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1966). Dalam buku ini terlihat jelas Packer memakai istilah Fundamentalisme dalam pengertian yang sama dengan Evangelikal Konservatif.
[21]Elwell, Evangelical Dictionary of Theology ..., s.v. “Fundamentalism”
[22]Sinclair B. Ferguson, David F. Wright and J. I. Packer (ed), The New Dictionary of Theology, Jil. 2 (Malang: SAAT, 2009), 117-118.
[23] Elwell, Evangelical Dictionary ..., s.v. “Fundamentalism”
[24]Hal ini misalnya, terlihat dalam sikap gereja Evangelikal di Indonesia, ada gereja evangelikal yang menjadi anggota PGI tetapi juga menjadi anggot PII.
[25]Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke 20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 165.
[26]Diambil dari tulisan Dr. Daniel Ronda, yang disarikan beliau dari buku Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 34-38.
[27]Bagian ini sepenuhnya diambil dari sebuah artikel berjudul Dispensasionalis, tersedia di http://www.gotquestions.org/Indonesia/dispensasionalisme.html, diakses tgl. 26 Sept. 2012
[28]Lihat Chris Marantika, Kaum Injili Di Indonesia …, hlm.
[29]Charles Cadwel Ryrie, Teologia Kekinian, (Surabaya: Yakin, t.t.), 61
[30]Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga (Malang: Institute Injil Indonesia, 1991), 9.
[31]Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini …, hlm.18
[32]David F. Wells, “Evangelical Theology” dalam David F. Ford dan Rachel Muers, The Modern Theologians: An Introduction to Christian Theology since 1918 (Australia: Balckwell Publishing, 2005), 612
[33]Lih. Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini, . . . hlm. 10
[34]Ibid., hlm.18-19
[35]Bagian ini sepenuhnya diadaptasi dari David L. Smith, A Handbook of Contemporary Theology: Tracing Trends and Discerning Directions in Today’s Theological Landscape, (Michigan: Baker Books, 1992), 65-68.
[36]David L. Smith, A Handbook of Contemporary Theology, … hlm.68-69.
[37]Diambil dari Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini, …, hlm. 16-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar