Nyoman Lisias F. Dju
fernandlisias@gmail.com
Pendahuluan
Latar belakang Istilah
Istilah
“Evangelical” atau “Injili” adalah
istilah yang sangat populer dalam theologia Kristen. Istilah ini bukanlah istilah yang baru sama sekali karena istilah
ini sesungguhnya sudah dipakai untuk menyebut sebagian
pemimpin umat Katolik Roma yang saat itu setia pada ajaran Alkitab yang murni;
dimana mereka mengutamakan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik kelakuan
yang Alkitabiah, seperti pentingnya membaca Alkitab, iman kepada Yesus sebagai
Juruselamat pribadi dan kesalehan hidup.
[1]Chris Marantika menyatakan hal senada bahwa sejak masa reformasi ungkapan ini telah dikenakan kepada gereja-gereja Protestan, dan kadang-kadang digunakan untuk menunjuk kepada sesama aliran gereja Protestan. Di Rusia, istilah Injili sama dengan denominasi Baptis.[2]Dalam konteks Indonesia masa kini, kata “Injili” digunakan secara luas oleh berbagai gereja, baik oleh gereja-gereja Protestan yang merupakan hasil Zending Belanda maupun gereja-gereja yang dihasilkan oleh gerakan Revival dan atau Holliness Movement.
[1]Chris Marantika menyatakan hal senada bahwa sejak masa reformasi ungkapan ini telah dikenakan kepada gereja-gereja Protestan, dan kadang-kadang digunakan untuk menunjuk kepada sesama aliran gereja Protestan. Di Rusia, istilah Injili sama dengan denominasi Baptis.[2]Dalam konteks Indonesia masa kini, kata “Injili” digunakan secara luas oleh berbagai gereja, baik oleh gereja-gereja Protestan yang merupakan hasil Zending Belanda maupun gereja-gereja yang dihasilkan oleh gerakan Revival dan atau Holliness Movement.
Grolier Academic Encyclopedia
mendefinisikan evangelikalisme sebagai berikut
Evengelicalism is a term applied
to a numberof relates movement within Protestanism. They are bound together by
a common emphasison what they believe to be a personal relationship with Jesus
Christ and a commitment to the demands of the New Testament. Evangelicalism is
ussually associated with a type of preaching that calls on the hearer to
confess his or her sin and believe in Christ’s forgiveness.[3]
Definisi
di atas, menunjukkan bahwa evangelikalisme adalah istilah yang berkaitan dengan
gerakan dan aliran Protestan yang memiliki karakter yang sama yaitu penekanan
pada keyakinan pribadi pengikutnya pada Yesus Kristus dan komitmen yang sungguh
pada ajaran-ajaran PB. Khotbah yang menantang pendengarnya untuk mengakui
dosanya dan menerima pengampunan di dalam Kristus dianggap sebagai jenis
khotbah kaum Injili.
Dalam
Alkitab, istilah Injili dalam bahasa Yunani adalah ευαγγελιον (baca: euangelion) Secara harafiah kata ini berarti kabar
baik atau kabar sukacita. Istilah ini juga yang dipakai untuk menunjuk kepada
Perjanjian Baru sebagai Injil, yaitu kabar baik bagi semua orang. Dalam konteks
Perjanjian Baru, kata ini digunakan untuk menyatakan kabar baik, bahwa di dalam
Yesus ada jaminan keselamatan yang pasti. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya,
setiap orang yang percaya kepada Yesus akan beroleh hidup yang kekal. Inilah
berita Injil; berita sukacita bagi semua orang.
Dengan berpegang teguh pada kebenaran
sebagaimana yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru, kaum ini menamainya kaum
Injili. Meski aliran ini tidak lahir sebagai suatu aliran yang benar-benar baru
dalam kekristenan, tetapi aliran ini merupakan aliran yang paling luas
pengaruhnya dalam sejarah perkembangan ajaran Kristen. Ideologi dan filosofi
aliran Injili meresap hampir di semua aliran gereja yang ada.
Sejauh istilah Injili diartikan sebagai
suatu komitmen kesetiaan pada Injil (Alkitab), maka semua gereja yang
melakukannya dapat disebut sebagai (dan atau tercakup dalam) aliran Injili.
Akan tetapi keyataannya tidak demikian. Kaum Injili dalam perkembangan dan
pergerakkannya telah menunjukkan suatu bentuk pemahaman dan karakteristiknya
tersendiri yang membedakannya dengan aliran lain dalam gereja Kristen, meskipun
pemahaman dan karakteristik itu tidak sama persis dalam seluruh gereja atau
aliran Injili di semua belahan dunia.
Gerakan Injili yang ada saat ini
sebenarnya adalah gerakan Injili baru atau yang lebih dikenal dengan nama “Neo-Evanjelikal” (Gerakan Injili Pembaharuan).
Tetapi istilah “Neo-Evanjelikal” jarang dipakai. Gerakan ini lebih sering
memakai nama “Injili” saja.Mengingat Neo-Evanjelikal memiliki pembahasannya
tersendiri, maka
dalam tulisan ini yang akan dibahas lebih banyak adalah gerakan Injili dalam
bentuk awalnya (abad XVI – XIX).
B. Sejarah Singkat Gerakan Injili dan Perkembangannya
Sebagaimana
telah di singgung di atas, semangat Injili telah ada sejak abad XVI. Pada saat itu di gereja Roma
Katolik ada sebagian orang yang dengan setia mempertahankan kemurnian ajaran
Alkitab dan praktik-praktik hidup yang saleh. Pada awalnya kelompok yang
dimotori para kardinal ini tidak dianggap berbahaya dan bahkan diterima sebagai
gerakan penyegaran rohani.[4]
Ketika
Reformasi terjadi, kelompok ini dengan sendirinya terpisah dari gereja Roma
Katolik. Mereka dikeluarkan dari Gereja Roma Katolik dan gereja kelompok ini
menggunakan nama Evangelische Kirche (secara
harafiah: Gereja Injili). Nama itu digunakan untuk menegaskan bahwa Reformasi
beserta gereja yang dihasilkannya hendak kembali kepada Injil yang murni
sebagaimana terdapat di dalam Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran dan
dasar kehidupan gereja.[5]
Menurut
The World Book Encyclopedia, istilah
“Injili” sudah muncul dan digunakan sejak tahun 1500-an. Buku ini menjelaskan
sebagai berikut:
Marthin
Luther and others leaders of the Protestant Reformation used the term evangelical in the 1500’s. They use it
in promoting a message that stressed salvation through faith in Jesus Christ,
the authority of the Bible, and the equality of all belivers before God. Many
Lutheran churches today include some form of the word evangelical in their names.[6]
Kenyataannya,
istilah ini terus mengalami perkembangan dalam sejarah kekristenan. James C.
Livingstone dan Francis Schussler Fiorenza menjelaskan bahwa
However,
as the word “evangelical” developed through Christian history, and particularly
since the Protestant Reformation, it has taken on more definite meaning. In the
sixtenth century, the word was used to refer to those Chatolic writers and
reformers who called for return to the beliefs and practices of New Testament
Christianity – in contrast to those developments in the medieval Church that
were considered unbiblical. The various Christian groups today who, in their
own distinctive ways, wish to return to what they view as biblical Christianity
and in some cases to the confessions of the Reformation, are often referred to
as “evangelical.” In parts of Europe and Latin America, however, the word
continues to be used merely as synonymous with Protestan, as distinct from
Roman Chatolic.[7]
Penjelasan
Livingstone dan Fiorenza di atas menunjukkan bahwa kata “evangelical” meluas penggunaannya seiring dengan
perkembangan dan perluasan kekristenan. Istilah ini juga dipakai untuk menunjuk
pada ajaran yang benar, yang membedakannya dengan ajaran yang sesat. Pada masa
kini, ajaran Reformed juga diidentikkan dengan kata ini. Di beberapa bagian
Eropa dan Amerika Latin, kata ini masih digunakan untuk menunjuk kepada gereja
Protestan yang membedakannya dengan gereja Roma Katolik.
Pada
masa kini tidak dipungkiri lagi jika istilah “Evangelical” menjadi istilah yang
begitu dikenal luas, yang bahkan digunakan oleh berbagai aliran gereja.
Semangat gerakan Injili masa kini telah menjadi gerakan yang mampu menerobos
batas-batas denominasi dan konfesional dari berbagai aliran yang ada.
Gereja-gereja yang dulunya merasa “alergi” dengan istilah ini sekarang sudah
mulai menunjukkan sikap yang lebih moderat dan terbuka, walau masih ada juga
yang merasa kurang suka dengan gerakan Injili ini. Bagi golongan yang terakhir
ini, ketika mendengar istilah tersebut, yang cenderung muncul dalam benak
mereka adalah suatu bentuk aliran yang karismatis atau pentakostal. Persepsi
yang demikian tentu saja kurang tepat, walau tidak dapat disangkal bahwa ada
gereja yang menyebut dirinya Injili yang juga bersifat karismatik atau
pentakostal.
Tahun 1700-an,
gerakan Injili menggrebek dunia melalui dua pengkhotbah bersudara yang terkenal
yaitu John Wesley dan Charles Wesley. Dua tokoh ini dikenal sebagai tokoh
Injili yang sangat vokal menyuarakan kebenaran Injil dalam pemberitaan dan
khotbah-khotbah mereka. These religious
leaders emphasized the need for a personal conversion experience through a
special act of God Grace. They also stressed the importance of leading a holy
and disciplined life.[8]
Bangkitnya dua tokoh ini (dan tokoh-tokoh lainnya) sangat dipengaruhi oleh
spritual pietisme. Hingga pertengahan abad XVIII (khususnya di Jerman),
pietisme menjadi mainspring yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya
kebangkitan Injili.[9]
Tahun
1800-an, denominasi evanjelikal menjadi aliran yang paling terkenal dan
berpengaruh di Amerika. Pada saat itu banyak aliran gereja tertular semangat
gerakan ini secara signifikan. The
Evangelical United Front merupakan salah satu lembaga yang di dalamnya
tergabung orang-orang dari berbagai aliran gereja, seperti: Baptis, Kongregasionalis,
Reformed Belanda, Methodis, Presbyterian, dan juga beberapa kelompok kecil
lainnya. Badan ini secara aktif mempelopori gerakan pembaharuan dan kebangkitan
dan mengorganisirnya.[10]Tahun
1804, The Evangelical Alliance didirikan
di London untuk menyatukan orang-orang Kristen dan menggalakkan kebebasan
beragama, misi dan masalah-masalah publik lainnya. Aliansi yang bersifat
nasional juga dibentuk di Jerman, USA, dan dibeberapa negara lainnya. Tahun
1951, organisasi Internasional dari gerakan ini diganti dengan nama World Evangelical Fellowship.Tokoh-tokoh
yang terkenal pada zaman ini diantaranya adalah D. L. Moody dan Charles Finney.
Abad
XIX merupakan abad kejayaan gerakan Injili. Pada masa ini, gerakan Injili telah
menjadi gerakan yang mendunia. Kaum Injili dikenal dimana-mana, bukan saja
karena organisasi mereka yang besar dan pengajaran mereka yang sangat
berpengaruh, tetapi juga karena terobosan-terobosan dalam bidang sosial dan
ekonomi yang berhasil mereka lakukan. Identitas kaum Injili semakin jelas dan
kuat pada masa ini. Sikap mereka pun semakin terbuka dan lebih ilmiah, berbeda
dengan masa-masa sebelumnya.
Kenyataan
di atas dikuatkan dengan beberapa fakta penting, yaitu terbentuknya yayasan National Association of Evangelical (1942),
berdirinya Fuller Theological Seminary (1947) dankemudian terbitnya majalahChristianity Today (1956).Fuller Theological Seminary adalah sekolah
Teologi Injili yang menjadi pilar berkembangnya gerakan dan teologi kaum
Injili. Christianity Today merupakan
suatu bentuk pelayanan kaum Injili dalam bidang Literatur, sekaligus sebagai
sarana publikasi teologi dan pengajaran kaum ini. Tokoh yang terkenal pada masa
ini adalah Dr. Harold J. Ockenga, Billy Graham, Carl F. Henry, dll. Tokoh-tokoh
ini merupakan para pengajar di Fuller
Theological Seminary. Pada masa ini, gerakan dan teologi Injili berkembang
sedemikian rupa, menjadi suatu gerakan dan teologi dengan identitas dan karakter
tersendiri. Mereka mulai berusaha untuk merangkul kaum Fundamentalis dan
menerima kaum Liberal. Bentuk teologi dan gerakan Injili pada masa ini kemudian
dikenal dengan nama “neo-evangelical.”
B.1. Latar Belakang Tokoh-Tokoh Penting dalam Sejarah
Gerakan dan Teologi Injili
Cukup
banyak orang yang memiliki peranan penting dalam sejarah gerakan dan
perkembangan teologi Injili. Dalam setiap abad perkembangan, ada tokoh-tokoh
tertentu yang muncul yang memberi warna dan identitas pada gerakan ini. Dalam
bagian ini, tidak semua tokoh akan dipaparkan, hanya beberapa tokoh penting
yang benar-benar signifikan dalam perkembangan gerakan dan teologi Injili.
a. John Wesley[11]
Perkembangan
gerakan dan teologi kaum Injili tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih dan
kontribusi John Wesley. Meski perannya tidak sehebat pionir lainnya, namun apa
yang dilakukannya dalam masa pelayananannya telah memberikan dampak yang
signifikan bagi perkembangan gerakan dan teologi Injili selanjutnya. Bahkan,
ajaran Wesley tentang kesucian di kemudian hari menjadi ajaran yang
mempengaruhi dalam Gerakan Kesucian Keswick yang terjadi di Inggris pada akhir
abad XIX.
John
Wesley lahir pada tahun 1703. Ayahnya adalah pendeta jemaat Epworth di
Lincolnshire. Ketika baru berumur lima tahun, rumah mereka terbakar. John
berhasil diselamatkan pada menit-menit terakhir. Kejadian ini membuat ibunya
melihat John sebagai “puntung yang telah ditarik dari api,” yang diselamatkan
untuk tugas khusus. John kemudian belajar di Christ Church, Oxford dan kemudian
ditahbiskan menjadi pendeta tahun 1725.
John
kemudian menjadi dosen di Lincoln College dan selama masa ini ia menjadi salah
satu pendiri Perkumpulan Kudus. Perkumpulan ini dimaksudkan bagi mereka yang
sunggug-sungguh dan serius menekuni pelaksanaan ajarana agama. Tahun 1735, ia
pergi ke Georgia sebagai utusan Injil. Tetapi pelayanannya disana tidak
berhasil. Kekurangan-kekurangannya diperlihatkan oleh seorang pendeta dari
“Persaudaraan Morivia.” Orang-orang Morivia adalah penganut pietisme menurut
tradisi Spener.
Ketika
ia kembali ke Inggris thaun 1738, John semakin sadar akan kebutuhan
spiritualnya. Dalam catatan buku hariannya tertanggal 24 Mei 1738, John begitu
bergumul dengan keberadaannya setelah ia mendengarkan seseorang yang membaca
pengantar Surat Paulus kepada Jemaat di Roma karya Luhter baginya. Ia kemudian
mengalami kesadaran akan dosanya dan mengakui Yesus sebagai Juruselamatnya.
Menurut tradisi, inilah saat pertobatan Wesley. Mungkin sekali ia telah menjadi
Kristen yang sungguh selama tahun-tahun sebelumnya, tetapi hal yang baru dalam
peristiwa itu adalah kepastian atau keyakinannya akan keselamatan. Bagi
kebanyakan anggota Gereja Inggris saat itu (Anglikan) hal semacam ini adalah
terlalu congkak. Tetapi Wesley justru melihatnya sebagai “dasar agama Kristen”
dan “Doktrin Utama Metodis.”
Sejak
saat itu, John Wesley (dan Saudaranya Charles Wesley serta B. B. Warfield)
dengan berkobar mulai berkhotbah tentang keselamatan oleh iman dalam Yesus
Kristus. Tetapi ajaran ini tidak disenangi di mimbar-mimbar gereja di Inggris.
Masa itu adalah masa dimana kemunduran dalm moral dan agama terjadi begitu
besar dan tajam di Inggris. Dengan demikian, maka khotbah semacam ini menjadi
khotbah yang datang bagaikan tiupan sangkakala yang nyaaring untuk memanggil
orang kembali kepada Injil. Karena mimbar-mimbar tertutup bagi pemberitaan
semacam ini, maka ia berkhotbah di pasar dan di tempat mana saja ia dapat
menemukan orang berkumpul. Setiap tahun ia menempuh perjalanan 5000 mil dan ia
masih berkhotbah hingga usia 87 tahun, tak lama sebelum ia meninggal.
John
Wesley menghadapi tantangan dan perlawanan dari semua kaum rohaniawan dan
lapisan masyarakat saat itu. Ia sering menghadapi sikap permusuhan, bahkan
tidak jarang dilempari dengan batu. Tetapi pada waktu yang sama, banyak
tanggapan positif. Melalui
khotbah-khotbah itu, Inggris mengalami Kebangunan Rohani dan banyak orang
diantar pada pengetahuan pribadi yang hidup mengenai Yesus. Sebagai akibat
kebangunan rohani ini, aliran Evangelikalisme menjadi faktor penting dalam
Protestanisme versi Anglo-Sakson, dan sejak munculnya untuk sebagian besar
menjadi faktor yang dominan.
Karena
Gereja utama Inggris (Anglikan) menunjukkan sikap yang bermusuhan terhadap
orang-orang hasil pelayanannya, maka John Wesley memisahkan diri dan mendirikan
Gereja Metodis. Namun, spirit kebangunan rohani yang terjadi tetap berhasil
masuk ke dalam gereja Anglikan. Ada diantara anggota jemaat Anglikan yang juga
mengalami kebangunan rohani. Keadaan ini menciptakan kelompok Injili dalam
gereja Anglikan yang kemudian menjadi kelompok yang berpengaruh. Gereja-gereja
lain yang secara tradisional tidak terikat pada Gereja Anglikan (seperti Gereja
Presbyterian, Gereja Kongregasionalis dan Gereja Baptis) yang mengalami
kemunduran dalam jumlah anggota dan kegairahan juga bangkit kembali dan
berkembang dengan pesat.
Kebangunan
rohani ini telah mempengaruhi gereja (-gereja) di Inggris. Pengaruhnya bukan
hanya di bidang kegerejaan. Melalui kebangunan rohani itu, masyarakat paling
bahwa dapat terjangkau oleh Injil dengan jalan yang sebelumnya tidak pernah
ditempuh. Seluruh lapisan masyarakat mengalami perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan. Pernah dikatakan, tanpa pembangunan rohani yang terjadi pada masa
Wesley ini, Inggris mungkin harus menghadapi revolusi seperti halnya Revolusi
Perancis. Pembaharuan rohani yang terjadi pada ini telah membawa dampak positif
yang luar biasa tidak saja dalam kehidupan gerejawi Inggris, tetapi juga dalam
kehidupan sosial dan politik.
b. Benjamin B. Warfield [12]
Benjamin
Breckenridge Warfield lahir pada tahun 1851 di dekat Lexington, Kentucky. Ia
menempuh pendidikan di Princeton dan Leipzig dan kemudian menjadi pengajar di
Seminary di Pittsburg dari tahun 1878 sampai 1887. Berikutnya ia menjadi dosen
di Seminari Teologi Princeton sampai ia meninggal pada tahun 1921.
B. B.
Warfield adalah salah satu wakil terbesar dari kelompok pemikir “mazhab
Princeton.” Seminari Teologi Princeton didirikan tahun 1811 dan pada tahun
1820, Charles Hodge mulai mengajar di sana. Hodge yang adalah seorang Calvinis
“mazhab lama” harus berhadap dengan Calvinisme “mazhab baru” seperti Finney dan
lainnya, hingga pada akhirnya Warfield mengganti A. A. Hodge, putra Charles
Hodge. Tahun 1929, Seminari ini mulai bergerak kearah Liberalisme dan John
Gresham Machen (1881-1937), wakil terpenting dari mazhab tersebut membentuk
Seminari Teologi Westminster yang baru untuk melanjutkan tradisi lama – yang
terus dilakukan hingga sekarang.
Warfield
terkenal dengan pandangannya mengenai doktrin Alkitab. Ia adalah pembela ulung
yang mempertahankan pandangan tradisional bahwa Alkitab adalah sabda Allah yang
diilhamkan dan tidak dapat salah. Ia menekankan bahwa ajaran Yesus dan penulis
Perjanjian Baru mengenai hal ini sangat jelas. Alkitab “diilhamkan Allah.”
Allah-lah penulisnya. Keyakinan ini didasarkan bukanpada satu atau dua nats
pembuktian saja, tetapi pada sejumlah besar bukti-bukti Alkitabiah.
Menurut
Warfield, Alkitab adalah sabda Allah sekaligus kata manusia. Menolak salah satu
dari kedua hal ini adalah salah. Alkitab itu sepenuhnya firman Allah dan juga
sepenuhnya kata-kata pengarang manusianya. Ini terlihat dari gaya bahasanya
yang jelas berbeda-beda serta sifat-sifat lain dari masing-masing pengarang.
Penulis-penulis Alkitab menulis secara bebas, tetapi mereka sudah dipersiapkan
oleh Allah, dan Ia telah menyatakan diri kepada mereka seperlunya menurut tugas
mereka. Sekiranya Allah menghendaki agar umat-Nya menerima surat-surat seperti
surat-surat Paulus, Ia akan mempersiapkan seorang Paulus untuk menulisnya.
Dengan demikian, maka para penulis Alkitab menulis tepat seperti apa yang
dikehendaki Allah. Karena penulis menulis
tepat seperti yang Allah kehendaki, maka pesan Alkitab adalah pesan-Nya dan
Alkitab dapat disebut sabda-Nya. Dengan demikian, apa yang diajarkan Alkitab
adalah benar. Teori Warfield ini kemudia dikenal dengan “Teori Pengilhaman
Verbal.”
Pada
tahun-tahun awal abad 20, liberalisme begitu kuat mempengaruhi gereja-gereja
dan organisasi-organisasi evangelikal. Keadaan ini memaksa dibentuknya
dibentuknya koalisi kelompok Evangelikal yang teguh dan konservatif demi
mempertahankan posisi mereka. Koalisi ini menghimpun kaum-kaum evangelikal dari
berbabagi latar belakang: Lutheran, Calvinis, Anabaptis. Semua golongan ini
berpadu atas dasar doktrin asasi dari iman evangelikal. Kebenaran yang
menyatukan mereka adalah pengilhaman Alkitab dan sifatnya yaang tak dapat salah
– suatu kebenaran yang menjadi batu ujian bagi gerakan mereka melawan arus
Liberalisme yang kuat, sekaligus menjadi salah satu dogma yang akan mendukung
unsur-unsur lain dari Protestanisme Orthodoks.
Meskipun
pengilhalam Alkitab telah menyatukan orang-orang ini, tetapi ini tidak berarti
bahwa mereka semua memiliki pandangan yang sama. Pandangan Warfield di atas
mewakili kaum garis tengah. Kelompok lainnya yang lebih fundamentalis tidak
begitu yakin dan menerima sisi kemanusiaan dalam pengilhaman Alkitab. Sementara
di kelompok lain berpendapat bahwa memang merasa tidak berhak mengkritik
Teologi Alkitab, tetapi meskipun Alkitab adalah diilhamkan Allah, tidak menutup
kemungkinan bahwa tidak terdapat kesalahan-kesalahan tertentu dalam Alkitab,
seperti informasi tentang sejarah atau geografi. Pandangan ini dipegang oleh
James Orr, orang Skotlandia yang sezaman dengan Warfield.
Pada
mulanya, kaum evangelikal terdesak kebelakang dalam kehidupan gereja. tetapi
secara dramatis aliran bertumbuh menjadi sangat luas dan perngaruh dan pada
saat yang sama gereja-gereja aliran Liberal semakin merosot. Sejak kongress
Lausanne (1974), gerakan evangelikal dihitung sebagai kekuatan ketiga di dunia
Kristen, disamping Katolik Roma dan Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.
c. Charles Finney[13]
Charles
Grandison Finney adalah seseorang yang memajukan kebangunan rohani dalam aliran
Injili. Ia dilahirkan di Warren, Connecticut pada tahun 1792. Ia belajar hukum
dan menjadi seorang pengacara. Tahun 1821, ia bertobat dan mulai menyelidiki
Alkitab, setelah sebelumnya ia berpandangan skeptis. Tak lama kemudian, ia
meninggalkan profesinya dan menjadi penginjil. Ia mulai berkhotbah, dan pada
tahun 1824, ia ditahbiskan menjadi pendeta Presbiterian. Ia kemudian mengadakan
kebangunan rohani di negara-negara bagian sebelah timur dengan cara-cara baru
diantaranya mengadakan pertemuan-pertemuan penelaahan bagi mereka yang mencari
keselamatan.
Kalau
Calvinisme cenderung mengajak orang untuk menunggu Allah berkarya yang membuat
mereka bertobat, maka Finney melihat pertobatan itu sebagai tindakan kehendak
manusia yang terjangkau oleh kita. Penekanan pada tanggung jawab manusia juga
terdapat dalam ajarannya mengenai kebangunan rohani. Menurut tradisi,
kebangunan rohani dilihat sebagai tindakan berdaulat Allah, yang dapat kita
doakan, tetapi yang Allah hanya berikan menurut perkenanan-Nya. Finney
menekankan penting persiapan untuk kebangunan rohani. Semangatnya memajukan
kebangunan rohani membuat ia dikenal sebagai “bapa kebangunan rohani modern.”
Pada
tahun 1835, Finney menjadi guru besar dogmatik di Oberlin College, Ohio, dan
dari tahun 1851 hingga 1866 ia menjadi ketuanya. Secara teologis, Finney dapat
dikatakan sebagai Sekolah Baru Calvinis (New Haven Theology). Khotbah dan
pengajarannya selalu tajam dan dramatis. Apakah ia melayani sebagai pekabar
Injil, gembala, dosen teologi atau rektor universitas, tujuan fundamnetalnya
tetap sama: menjamin pertobatan dari orang berdosa dan mempersiapkan mereka
bagi kedatangan kerajaan 1000 tahun.
Finney
menerapkan suatu patokan baru dalam pelayanannya seperti jemaat tidak duduk
dengan kaku, pertemuan-pertemuan berlangsung lama dan ia juga mengizinkan
perempuan berdoa di muka umum. Kebangunan rohani yang diprakarsainya segera
menyebar dengan ke seluruh wilayah dengan cepat, dimana hal itu dikenal sebagai
“membakar seluruh wilayah.” Meskipun Finney terlibat dalam mempromosikan
kebangunan rohani sepanjang hidupnya, bahkan melakukan perjalanan ke Inggris
untuk tujuan itu (1849-1850, 1859-1860), periode 1824-1832 tetap merupakan
puncak dari karir kebangunan rohaninya.
Sepanjang
hidupnya Finney menghasilkan beragam buku, koleksi khotbah dan artikel.
Karyanya yang penting sehubungan dengan kebangunan rohani adalah Lectures on Revivals of Religion (1835)
adalah sejenis buku pegangan tentang bagaimana memimpin suatu kebangunan
rohani, dan Memoirs (1876) berisi
tentang keterlibatannya dalam berbagai kebangunan rohani yang besar di awal
abad XIX.
d. D. L. Moody[14]
Gerakan
kebangunan rohani pada abad ke 19 di
Amerika Serikat tidak dapat dipisahkan dari nama Dwight L. Moody dan
penggantinya Charles Finney. Moody dikenal sebagai Bapak (progenitor) Fundamentalisme di Amerika
Serikat. Sumbangan yang dilakukannya
untuk memperkuat fundamentalisme di Amerika Serikat adalah dengan
memperomosikan apa yang ia yakini yaitu ketidakbersalahan Alkitab,
premillenialisme, pentingnya kesucian
dan penekanan kepada etika.
D.
L. Moody pada mulanya adalah seorang pengusaha sepatu yang kemudian di tahun
1854 tertarik kepada penginjilan melalui
organisasi penginjilan yang dilakukan oleh organisasi pemuda YMCA (Ini adalah
organisasi yang dimulai di Inggris untuk menginjili orang-orang muda di
kota-kota). Dia kemudian masuk
organisasi ini dengan melepaskan usahanya yang sedang berkembang. Dia pindah ke Chicago dan memulai pelayanan
Sekolah Minggu untuk anak-anak orang miskin dan imigran. Akhirnya dia membentuk gereja baru tahun 1864
dengan nama Illinois Street Church,
suatu jemaat dengan tidak ada keterikatan dengan satu denominasi gereja. Dia tetap aktif di YMCA dan tahun 1866 dia
menjadi pimpinan YMCA Chicago dan dia dikenal sebagi seorang
penginjil.
Atas
keterlibatannya di YMCA dia banyak diundang oleh gereja-gereja untuk memimpin
kebaktian penginjilan. Pada akhirnya
figur Moody sebagai penginjil lebih populer dari organisasi di mana dia
bernaung. Tahun 1873 Moody diundang ke
Inggris untuk menyampaikan Firman Tuhan dalam kebaktian penginjilan. Dengan dibantu oleh Ira Sankey, dia berhasil
mencapai sukses besar karena melalui pelayanannya di Skotlandia menyebabkan
terjadinya kebangunan rohani secara nasional.
Ini membuat namanya menjadi terkenal di dunia internasional. Juga di tahun berikutnya Moody dan Sankey
berhasil membuat terjadinya kebangunan rohani di seluruh Inggris. Sekembalinya Moody ke Amerika tahun 1875, dia
menjadi pahlawan nasional karena orang sungguh terkesan dengan keberhasilan
pelayanannya di Inggris. Dengan segera
saja dia menjadi populer di Amerika dan banyak memimpin kebaktian-kebaktian
penginjilan yang berskala besar. Di
samping memimpin kebangunan rohani, Moody juga mulai menjangkau dan melatih
orang muda untuk penginjilan. Di tahun
1879 di mulai mendirikan sekolah untuk para perempuan di Massachusetts, dan
tahun 1881 sekolah untuk laki-laki di Mount Hermon School. Dia juga mendukung Sekolah Alkitab baru yang
dipimpin oleh Emma Dryer. Dia juga
sering mengadakan konferensi-konferensi, dan yang paling penting adalah konferensi internasional untuk para
mahasiswa di tahun 1886 dan menyebabkan terbentuknya suatu badan missi yang
berpenaguruh dan bersemangat yaitu “Student Volunteer Movement”. Badan ini menyemangati ribuan anak muda di
Amerika dan Inggris untuk “penginjilan dunia pada generasi ini”.
Pengajaran
Moody lebih berfokus kepada penginjilan sebagai inti dari pengajarannya. Ada “Tiga R” dalam pengajaran Moody: “Ruin by sin, Redemption by Christ and
Regeneration by the Holy Spirit.”
Atau “Dihancurkan oleh dosa, Ditebus oleh Kristus dan Dilahirkan baru
oleh Roh Kudus.” Pengajarannya yang atraktif, banyak ilustrasi dan anekdot yang
menyebabkan menarik perhatian pendengar.
Tidak ada yang baru dalam pengajaran Moody, kecuali dalam hal
penyampaian Firman Tuhan. Fokus
pengajarannya adalah tentang kasih Allah dan bukan penekanan kepada api neraka
atau murka Allah seperti umumnya yang dilakukan pengkhotbah pada waktu
itu. Dia sendiri tidak menyangkal
adanya hukuman dosa, namun dia menghindari penekanan negatif terhadap Firman
Tuhan dan lebih kepada pendekatan positif dalam khotbah-khotbahnya.
Memang
Moody berbicara tentang dosa, namun dia melihat dosa sebagai godaan yang harus
dijauhi. Menurutnya ada empat godaan
yang terbesar dalam masanya: 1) Bioskop; 2) Tidak menghormati Sabat; 3) Surat
Kabar hari Minggu; 4) pengajaran ateis, termasuk ajaran evolusi. Juga dia menentang dosa yang kelihatan,
seperti kerakusan kaum busines, peminum dan pedagang minuman keras, melanggar
sabat (seperti naik perahu, memancing, berburu, melakukan perjalanan, dan naik
transportasi umum bahkan naik sepeda). Tetapi pendekatan Moody tentang dosa
adalah bersifat personal atau sebagai tanggung jawab pribadi. Walaupun tidak jelas disampaikan, namun Moody
mengajak pendengarnya untuk tidak terlibat langsung dalam kegiatan sosial. Dia juga menekankan kesucian hidup dan
premillenialisme serta pandangan yang negatif tentang Indonesia.. Dapat disimpulkan gerakan kebangunan rohani
ini umumnya adalah fokus kepada penyelamatan jiwa dan kekristenan yang praktis.
B.2. Hubungan Kaum Injili dengan Aliran (Gerakan) Lainnya
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, evangelikalisme bukanlah aliran yang muncul
independen atau pun aliran separatis yang terpisah atau memisahkan diri
sepenuhnya dari aliran Kristen lain yang ada. Sejarah menunjukkan bahwa aliran
ini muncul dalam dunia dan tradisi Kristen yang telah ada dan kemudian tetap
memegang nilai-nilai agung dari keyakinan Kristen yang dianut turun-temurun.
Boleh
dikatakan bahwa identitas dan teologi kaum Injili sebenarnya tumbuh dan
berkembang – (hingga menjadi sedemikian rupa) secara berangsur-angsur sejalan
dengan perkembangan zaman dan perkembangan teologi yang terus bergulir dari
waktu ke waktu. Oleh sebab itu, tidak heran jika sebermula aliran ini juga
dihubungan dengan kelompok Kristen Orthodox, atau golongan konservatif. Memang
tidak dapat dipungkiri jika karakter ortodox atau konservatif masih ada dalam
teologi aliran ini hingga saat ini, tetapi aliran ini tidak sepenuhnya lagi
berkutat pada dunia semacam itu.
Teologi
tertentu telah melatarbelakangi bahkan mungkin sekaligus mewarnai lahir dan
berkembangnya evangelikalisme. Dengan demikian maka pemahaman atas
latarbelakang teologi yang mendorong lahirnya evangelikalisme dan teologi yang
juga memperngaruhi aliran ini dalam perkembangannya perlu dimiliki. Pada bagian
ini akan jabarkan secara singkat
beberapa teologi atau aliran yang melatarbelakangi dan mewarnai gerakan
evangelikalisme.
a.
Fundamentalisme
Fundamentalisme dapat disebut sebagai nenek moyang gerakan
evangelikal. Konon, gerakan evangelikal berasal dari gerakan fundamentalisme
yang muncul di Amerika Serikat. The term
“fundamentalist” was perhaps used in 1920 by Curtis Lee Lwas in The Baptist
Watchman-Examiner, but it seemed to pop
up everywhere in the early 1920s as an obvious way to indentify someone who
believe and actively defended the fundamentals of faith.[15]
Memberi definisi mengenai fundamentalisme bukanlah hal yang
mudah. William E. Hordern mengatakan bahwa
The term fundamentalist ... are
not easy to define. Usually these term are applied to anyone who believes in
the verbal inspiration of the bible, that is, the belief that the words of the
Bible aret the direct and errorless words of God. Yet, on closer inspiration,
it becomes clear that fundamentalist ... was primarily interested in taking the
Bible as the literal infallible word of God. Their primary interested was in
the defense of orthodox Christianity. To meet the challenge to orthodoxy ...,
these men choose to make the doctrine of the errorless Bibles the first line of
defense.[16]
Pendapat di atas menunjukkan bahwa Fundamentalisme merupakan
istilah yang biasa dipakai untuk kaum atau golongan orang-orang Kristen yang
mempercayai Alkitab sepenuhnya sebagai Firman Allah yang tanpa kesalahan.
Karena posisi pandangan yang demikian, kaum ini juga diidentikkan sebagai
orang-orang Kristen ortodoks. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa
Fundamentalis adalah orang orang (-orang) yang kokoh berpegang dan
mempertahankan ketidakbersalahan Alkitab.
Deskripsi yang sama mengenai Fundamentalisme juga ditunjukkan
oleh James Barr. Dalam bukunya yang berjudul: “Fundamentalisme” ia memberikan
ciri-ciri kaum Fundamentalisme sebagai berikut:
a. Penekanan
yang amat kuat pada ketiadasalahan (innerancy) Alkitab. Bahwa Alkitab tidak
mengandung kesalahan apapun.
b. Kebencian
yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan
akibat-akibat kritik modern terhadap Alkitab
c. Jaminan
kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pandangan keagamaan mereka sama
sekali bukanlah ‘Kristen sejati’.[17]
James Barr sendiri mengakui bahwa ciri-ciri di atas,
bukanlah keseluruhan ciri yang melekat pada gambaran yang umum yang dianut golongan
fundamentalis. Masih diperlukan gambaran yang lebih luas untuk dapat memperoleh
pemahaman yang memadai mengenai fundamentalisme.[18]
Jan S. Aritonang menyebutkan beberapa ciri dari kaum
Fundamentalisme, yaitu; a). Pengilhaman dan kemutlakan Alkitab (Verbal Inspiration); b). Keilahian
Kristus dan kelahiran-Nya dari anak dara perawan; c). Kematian Kristus sebagai
ganti dan penebus dosa; d). Kebangkitan Yesus secara jasmani; e). Kedatangan
Kristus yang kedua kali; f). Penekanan pada pengudusan pribadi.[19]
Jika diperhatikan, deskripsi dan ciri-ciri kaum fundamentalisme
yang disebutkan di atas sebagian besar merupakan ciri yang terdapat juga pada
kaum evangelikal, khususnya evangelikal konservatif. Hal ini dapat dimengerti,
mengingat istilah ‘fundamentalisme’ juga digunakan secara luas dan merujuk
kepada konservatifisme evangelikal manapun, yang meninggikan Alkitab dan
klaim-klaimnya yang fundamental. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah
J. I. Packer, yang menggunakan pengertian fundamentalisme dalam konteks yang
demikian.[20]
Fundamentalisme lahir sebagai suatu gerakan yang bertujuan
untuk mengokohkan keyakinan Kristen mula-mula dan mempertahankannya terhadap
serangan-serangan dari teologi-teologi atau isme-isme modern, yang khususnya
begitu gencar terjadi di Amerika dan Eropa. Dalam Evangelical Dictionary of Theology dijelaskan bahwa fundamentalisme
adalah:
A movement that arose in the
United States during and immediately after First World War in order to reaffirm
orthodox Protestant Christianity and to defend in militantly against the
chellenges of liberal theology, German higher criticsm, Darwinism, and other
isms regarded as harmful to American Christianity. Since then, the focus of the
movement, the meaning of the term, and the ranks of those who willingly use the
term to identify themselves has changed several times. Fundamentalism has so
far gone through four phases of expression while maintaining an essential
continuity of spirit, belief and method.[21]
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa
fundamentalisme merupakan gerakan yang berniat mulia, yaitu ingin meneguhkan
dan mempertahankan keyakinan Kristen yang mendasar dari serangan teologi,
pengetahuan dan filsafat modern. Dalam perkembanganya, fundamentalisme
ber-metamorfosa, sehingga fokus dan makna gerakan ini terus berubah-ubah sesuai
dengan konteks pergumulan yang dihadapi. Dalam perkembangan terakhir, telah ada
golongan fundamentalis yang menjadi sangat militan hingga memisahkan diri
sedemikian rupa dan kemudian menjadi separatis. Pada tahun 1930, fundamentalis
mengambil ekspresi gerejawi yang berbeda. Makin lama fundamentalis yang paling
militan merasa bahwa mereka harus memisahkan diri dari grup-grup yang berisi
modernis, dan membentuk jemaat independen atau denominasi independen.[22] Golongan
atau kelompok inilah yang kemudian disebut sebagai Fundamentalis-separatis.
Dalam perkembangan sejarah, Fundamentalisme dan
Evangelikalisme berkaitan dan berhubungan dalam banyak hal. Evangelical Dictionary of Theology mencatat
persamaan dan perbedaan kaum
fundamentalis dan evangelikal sebagai berikut:
Fundamentalists and evangelicals
is the 1950s and 1960s shared much; both adhered to the traditional doctrine of
Scripture and Christ; both promoted evangelisme, revivals and missions, and
personal morality against smoking, drinking, theater, movies, and card-playing;
both identified American values with Christian values; both believed in
creating organizational networks that separated themselves from the rest of the
society. However, fundamentalists believed they differred from evangelicals and
neoevangelicals by being more faithful to Bible-believing Christianity, more
militant against church apostasy, comunism, and personal evils, less ready to
cater to social and intelectual repectability. They tended to oppose Billy
Graham, not to read Christianity Today, and not to support Wheaton College or
Fuller Theological Seminary. Instead they favores their own evangelists, radio
preachers, newspapers and schools. Fundamentalists tended to differ greatly
among themselves and found it difficult to achieve widespread fundamentalist
cooperation.[23]
Dengan memperhatikan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa
fundamentalisme dan evangelikalisme memiliki hubungan yang erat.
Fundamentalisme mewariskan sedikit banyak prinsip dan pemahaman teologi pada
evangelikalisme, yang mana terlihat dalam ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
kaum evangelikalisme itu sendiri. Salah satu sifat yang bertolak belakang
dengan kaum evangelikalisme, yang dimiliki kaum fundamentalisme adalah
kecenderungannya memisahkan diri (separatis). Kaum evangelikalisme justru
memiliki kecenderungan yang sebaliknya; membuka diri dan berusaha
diterima/berbaur; mereka tidak mau memisahkan diri, meskipun mereka juga
membentuk aliansi dikalangan mereka sendiri.[24]
Sayangnya, fundamentalisme kemudian menjadi gerakan yang memprihatinkan. Harun
Hadiwijona menulis;
Mereka makin lama makin mengurung diri dalam kurungan yang
dibuatnya sendri. Demi mempertahankan diri sebagian dari mereka mengembangkan
suatu prasangka anti intelektual yang mendalam, mencurigai kesarjanaan, acuh
tak acuh terhadap nilai pemakaian akal dalam soal-soal agama, keras dan kejam
dalam sikap terhadap alasan-alasan para penentangnya. Golongan fundamentalisme
ini tidak memiliki keberanian teologis dan tidak memperhatikan ilmu secara
Kristiani, sehingga mereka menjadi gersang secara intelektual. Kebudayaan
dicurigai, tanggung jawab terhadap kesaksian sosial Kristen diserahkan kepada
para penganjur Social Gospel. Mereka hanya berpaling pada diri sendiri dan
membatasi perhatian mereka pada pemasyuran Injil dan pengusahaan hidup
keagamaan pribadi. Karena kaum fundamentalis mengabaikan sejarah maka mereka
kehilangan kaitan dengan masa lampau dan menyerahkan nasib mereka pada zaman
sekarang. Gerakan ini kehilangan kedalaman dan keteguhan.[25]
Apa yang dikatakan oleh Harun Hadiwijono dalam kutipan di
atas, seolah-olah menunjukkan bahwa fundamentalis telah berkembang menjadi
aliran yang negatif. Tetapi, bagaimanapun juga, fundamentalisme telah menjadi
gerakan yang bisa memberikan sumbangsih positif dalam perkembangan teologi
Kristen. Boleh juga ditambahkan bahwa dengan adanya fundamentalisme, keyakinan
iman dan kesetiaan pada Firman Allah dapat selalu terjaga dalam gereja dari
waktu ke waktu. Melihat kepada derasnya arus ilmu pengetahuan dan filsafat,
sulitnya rasanya gereja dapat bertahan dalam ajaran yang benar dan keyakinan yang kokoh pada
Alkitab sebagai firman Allah tanpa sikap fundamentalisme.
b.
Pietisme.[26]
Pietisme merupakan gerakan yang juga memberikan warna dalam
perkembangan gerakan Injili. Pietisme adalah suatu gerakan kesalehan di dalam
gereja Protestan di Eropa. Gerakan ini menekankan kesalehan pribadi disamping
pengajaran yang benar. Gerakan ini kemudian menjadi gerakan pembaharu
kerohanian di Jerman, dam merambat ke Inggris dengan nama Puritanisme.
Beberapa karakteristik pietisme adalah
Pertama, Gerakan ini menekankan kesalehan pribadi. Ajaran gereja atau Alkitab yang benar akan
menghasilkan suatu kesalehan yang harus diterapkan dalam kehidupan orang
percaya. Di sini pentingnya pengalaman
keselamatan yang bersifat pribadi.
Mereka menekankan apa yang disebut praxis
pietatis yaitu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang
yang walaupun digemari banyak orang.
Kehidupan mereka umumnya sederhana dan menghindari dosa. Walaupun menghindari hal-hal yang disenangi
banyak orang, namun mereka tidak menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat.
Kedua,gerakan ini membentuk kelompok-kelompok kecil untuk
mengadakan pemahaman Alkitab bersama, melakukan perbuatan kasih, melakukan
pekabaran Injil dan kegiatan sosial lainnya.
Kelompok ini seperti menjadi gereja kecil di dalam gereja (ecclesiola
in ecclesia).
Ketiga, gerakan ini menekankan keimamatan orang percaya
yaitu bahwa setiap orang terlibat dalam pelayanan untuk memelihara iman
Kristen. Ini sebagai reaksi dari gereja
yang terlalu berfokus kepada pendeta saja.
Keempat, kembali kepada Alkitab di mana Alkitab dipeajari
dalam PA untuk menjadi petunjuk dalam kehidupan sehari-hari untuk hidup
saleh. Ini terjadi karena gereja
berfokus kepada konfesi saja dan memakai Alkitab sebagai bukti teks saja.
Kelima, gerakan ini memiliki konsep penantian terhadap
kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah
suatu yang riil dan orang percaya harus memajukan kedatanganNya. Untuk itu masyarakat harus hidup sesuai dengan
Firman Allah. Itu sebabnya orang Pietis
sangat menekankan pendidikan dengan penekanan kepada kekudusan dan tingkah laku
orang percaya. Mereka bersemangat dalam
memberitakan Injil karena dengan diinjilinya suku-suku bangsa itu, kedatangan
Tuhan Yesus bisa dipercepat. Mereka juga
sangat terbeban untuk mentobatkan Israel karena dengan pertobatan bangsa ini,
maka kedatanganNya sudah diambang pintu.
Mereka berharap gereja Protestan bersatu, namun menghendaki supaya
gereja Katolik runtuh karena Paus dan gereja Katolik dianggap sebagai Babel (Di
dalam Wahyu datangnya kerajaan Allah ditandai dengan kejatuhan Babel).
Karakteristik pietisme diatas, rupanya terdapat juga dalam
azas kaum Injili. Nada pengajaran kaum Pietis hampir sama dengan kaum Injili;
menekankan pada kekudusan hidup, kewibawaan Alkitab, pengajaran Alkitab yang
benar, pemberitaan Injil dan konsep eskatalogis. Persamaan-persamaan
karakteristik ini mungkin tidak mengindikasikan bahwa kaum Injili mengambil
ajaran kaum Pietisme tetapi lebih menunjukkan sikap keterbukaan dan penerimaan
(yang juga dapat dipahami sebagai kesetujuan) kaum Injil terhadap aliran lain
sejauh ajarannya sesuai dengan keyakinan kaum Injili sendiri.
Dispensasionalisme adalah sistim teologia yang
memiliki dua ciri khusus, pertama, Penafsiran Alkitab yang secara harafiah dan
konsisten, khususnya dalam hal nubuatan Alkitab, kedua, Perbedaan antara Israel
dan Gereja dalam rencana Tuhan.
Kaum
dispensasi mengklaim bahwa prinsip hermeneutika mereka adalah penafsiran secara
harafiah. “Penafsiran harafiah” berarti setiap kata memiliki arti sebagaimana
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam metode ini, simbol, kata-kata
kiasan dan tipe ditafsirkan secara sederhana dan tidak boleh bertolak belakang
dengan penafsiran secara harafiah. Bahkan dibalik simbol dan kalimat-kalimat
figuratif terkandung makna secara harafiah.
Ada paling sedikit tiga alasan mengapa ini adalah
cara paling baik untuk menafsirkan Alkitab. Pertama, secara filosofis, tujuan
dari bahasa menuntut kita untuk menafsirkannya secara harafiah. Bahasa
diberikan Allah dengan maksud untuk berkomunikasi dengan manusia. Alasan kedua
adalah alasan Alkitabiah. Setiap nubuat mengenai Tuhan Yesus digenapi secara
harafiah. Kelahiran Yesus, pelayanan Yesus, kematian dan kebangkitan Yesus
semua terjadi persis dan secara harafiah sesuai dengan apa yang dinubuatkan
dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Baru tidak ada penggenapan dari
nubuat-nubuat yang tidak secara harafiah. Hal ini membuktikan metode harafiah
dengan kuat sekali. Jikalau penafsiran secara harafiah tidak digunakan dalam
mempelajari Alkitab, tidak akan ada standar yang obyektif yang untuk mengerti
Alkitab. Setiap orang bebas menafsirkan Alkitab dengan semau mereka. Penafsiran
Alkitab akan dicemarkan dan menjadi, “apa yang bagian Alkitab ini bicara kepada
saya …” dan bukannya “Alkitab berkata …” Sayangnya hal ini telah banyak terjadi
dengan apa yang disebut dengan penafsiran Alkitab pada saat sekarang ini.
Teologia Dispensasi percaya bahwa ada dua macam
umat Tuhan yang berbeda satu dengan yang lain: Israel dan Gereja. Kaum
Dispensasi percaya bahwa keselamatan selalu berdasarkan iman (dalam Perjanjian
Lama kepada Tuhan; dan dalam Perjanjian Baru kepada Anak Allah). Kaum
Dispensasi percaya bahwa Gereja tidak menggantikan Israel dalam rencana Tuhan,
dan bahwa janji-janji kepada Israel dalam Perjanjian Lama tidak dipindahkan
kepada Gereja. Mereka percaya bahwa janji-janji yang dijanjikan kepada Israel
(untuk tanah, keturunan yang banyak, dan berkat) pada akhirnya akan dipenuhi
dalam masa 1,000 tahun yang disebut dalam Wahyu 20. Mereka percaya bahwa
sebagaimana Allah pada zaman ini memusatkan perhatianNya kepada gereja, pada
masa yang akan datang Dia akan kembali memusatkan perhatian kepada Israel (Roma
9 – 11).
Dengan berdasarkan sistim ini, kaum Dispensasi
membagi Alkitab dalam tujuh Dispensasi: Kepolosan (Kejadian 1:1 – 3:7), Hati
Nurani (Kejadian 3:8 -8:22), Pemerintahan Manusia (Kejadian 9:1 – 11:32), Janji
(Kejadian 12:1 – Keluaran 19:25), Hukum Taurat (Keluaran 20:1 – Kisah Rasul
2:4), Anugrah (Kisah Rasul 2:4 – 11:32), dan Kerajaan Seribu Tahun (Wahyu 20:4
– 20:6). Sekali lagi dispensasi-dispensasi ini bukanlah jalan keselamatan, tapi
cara-cara Allah berhubungan dengan manusia. Dispensasionalisme sebagai sistim
menghasilkan penafsiran pramillenial terhadap Kedatangan Kristus yang Kedua
Kali, dan umumnya penafsiran Pengangkatan Orang Percaya secara Pratribulasi.
C. PENGAJARAN (AZAS) EVANGELIKAL
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, evangelikalisme memiliki kaitan yang erat dengan
fundamentalisme. Oleh sebab itu, pengajaran Evangelikalisme tidak jauh berbeda
dengan fundamentalisme. Berikut ini pokok-pokok asas kaum Injili yang utama,
yaitu
v Alkitab
adalah Firman Allah.
Bagi
kaum Injili, Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan tanpa salah, merupakan
pedoman hidup satu-satunya. Keyakinan ini dipertegas dalam Lausanne Covenant
yang berbunyi: “Kami meyakini secara tegas keilhaman, kebenaran, dan kekuasaan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara keseluruhan sebagai satu-satunya
Firman Allah yang tertulis, tanpa salah dalam pernyataannya, dan ialah satu-satunya
pedoman yang benar bagi iman dan peraktek hidup. Pernyataan yang sama
ditegaskan oleh kaum injili di Chicago USA dalam konferensi tentang Innerrancy of the Scripture yang intinya
menyatakan bahwa Kitab suci adalah Firman Allah satu-satunya yang diberikan
tanpa salah seluruhnya.[28]
Keyakinan
pada otoritas Alkitab sebagai satu-satu Firman Allah
dan tanpa salah merupakan keyakinan yang
mendasar yang dianggap sebagai ciri khas utama teologi injili. Bahkan,
keyakinan dianggap sebagai keyakinan yang
membedakan seorang injili dan non Injili. Sebuah organisasi gereja atau badan atau kristen bahkan sekolah teologia
apa pun dapat dianggap tidak Injili kalau tidak memiliki keyakinan yang
demikian.
Pengilhaman merupakan pokok yang penting dalam doktrin
kaum Injili. C. C. Ryrie sebagai seorang tokoh Injili menyatakan bahwa teori
pengilhaman yang dianut kaum Injili adalah teori pengilhaman verbal. Ia
menjelaskan bahwa:
Pengilhaman harfiah (verbal inspiration) bukan berarti
bahwa Allah menyerahkan Alkitab – … kepada manusia dalam bentuk buku dengan
jilid yang tebal. Dan bukan pula berarti bahwa penulis-penulisnya adalah juru
tulis yang beritanya didikte Allah kata demi kata. Melainkan berarti bahwa
Allah mengarahkan para pengarang dengan menggunakan gaya dan minat mereka,
memimpin mereka dengan Roh Kudus, sehingga berita ilahi dinyatakan dengan tepat
dalam naskah-naskah asli. …
Doktrin kita yaitu pengilhaman harfiah juga berarti
bahwa kita dalam menentukan teks (bukan dalam pengertian makna teks) teks itu
tidak dapat salah dan bahwa setiap perkataan termasuk bentuk kalimat tunggal
dan jamak dan bentuk waktu adalah tepat seperti yang dikehendaki Allah.[29]
Berdasarkan pendapat tersebut, jelaslah bahwa kaum
Injili menerima Alkitab sebagai Firman Allah apa adanya; yang benar, berotoritas,
dan tanpa salah. Mungkin karena pemahaman yang semacam ini juga (pengilhaman
verbal), kaum Injili memiliki kecenderungan untuk memahami dan menafsirkan
Alkitab apa adanya (literal). Selain itu, pengaruh dispensasionalisme juga
mungkin ada dalam hal ini.
Alkitab
bagi orang Injili adalah satu-satunya ukuran bagi segala presuposisi, asumsi,
pemahaman bahkan perilaku
mereka. Militansi kaum Injili terhadap Alkitab tidak diragukan lagi. Alkitab
adalah segala-galanya. Sama seperti kaum fundamentalisme, kaum Injili sangat
menjunjung tinggi Alkitab sebagai Firman Allah yang
berotoritas. Namun, semua sikap terhadap Alkitab yang dimiliki oleh
kaum Injili memiliki perbedaan yang mendasar dengan kaum fundamentalisme. Kaum
fundamentalisme cenderung memiliki sikap yang negatif karena prinsip yang sama.
Mereka menjadi orang-orang yang sempit dan menolak segala hal yang bersifat
Ilmiah (pengetahuan) yang berkaitan dengan Alkitab karena beranggapan bahwa hal-hal yang ilmiah
cenderung merongrong otoritas Alkitab. Sebaliknya,
kaum Injili tetap membuka diri terhadap
dialektika ilmu pengetahuan dan Alkitab, namun tetap memegang prinsip yang
mereka yakini. Kaum Injili justru mengambil hal-hal yang positif
dari ilmu pengetahuan untuk meneguhkan otoritas dan ketanpasalahan Alkitab.
Dengan demikian, kaum Injili menerima Alkitab apa
adanya. Bagi mereka, apa yang ditulis dalam Alkitab harus diterima dan diyakini
sebagai Firman Allah yang berotoritas. Pandangan ini tentu saja berbeda dengan
pandangan teologi kontemporer lainnya seperti aliran historis kritis yang
cenderung mengkritisi segala yang tertulis di dalam Alkitab. Alkitab dilihat
hanya sebuah dokumen sejarah kuno yang harus dinilai dan kritik oleh akal
manusia.[30]Pola
pikir filsafat (seperti Humanisma dan Eksistensialisme) merupakan prinsip yang
dipakai dan dipegang oleh aliran ini dalam mengkritisi Alkitab.
Karena kaum Injili menerima apa yang tertulis dalam
Alkitab, maka kaum ini mengakui adanya mujizat. Berkaitan dengan mujizat, mereka
menentang tegas gerakan rasionalisme, modernisme, dan sekularisme yang
mengabaikan unsur mujizat dalam iman Kristen. Kaum Injili tetap yakin bahwa
Tuhan Yesus yang Maha Kuasa itu tidak berubah, baik kemarin, hari ini dan
sampai selama-lamanya. Oleh sebab Tuhan Yesus tidak berubah, maka mukjizat pun
masih terjadi hingga saat ini.[31]
v Solus Christus
Solus Christus berarti keselamatan hanya oleh Yesus. Prinsip ini berkaitan
dengan Kristologi dan Soteriologi, bahwa hanya
melalui Kristus manusia dapat diselamatkan; bahwa manusia dapat diterima oleh
Allah hanya di dalam Kristus. Kristus-lah satu-satunya jalan menuju keselamatan.
Melalui kematiannya di kayu salib, Kristus menjadi jalan pendamaian antara
Allah dan manusia.
Kaum Injili percaya bahwa Kristus mati bagi dosa-dosa
manusia. Bagi kaum Injili, mengatakan bahwa ”Kristus menanggung dosa kita sama
pengertiannya dengan Kristus mati bagi dosa kita”, karena Dia tidak dapat
menanggung dosa mereka tanpa mati (berkorban) bagi mereka.[32]
Kristus mati bagi orang berdosa, sehingga melalui kematiannya ia mendamaikan
manusia yang berdosa dengan Allah Bapa. Tanpa menanggung dosa manusia,
pendamaian itu tidak mungkin terjadi dan bahwa Ia tidak dapat menanggung dosa
manusia tanpa mati di kayu salib.
Pada masa reformasi, ajaran Solus Christus telah dikembangkan dalam sebuah konteks
ekklesiologis. Hal ini telah melahirkan pemahaman tersendiri sebagaimana yang
berlaku dalam gereja Roma Katolik; extra
ecclesia nulla salus. Berdasarkan pemahaman inilah Gereja Roma Katolik membangun
doktrin ekklesiologi bahwa keselamatan hanya dapat dicapai dengan melakukan
upacara-upacara gereja, menerima dan mempercayai ajaran gereja yang kesemuanya
itu tidak dapat dilepaskan dari peran (otoritas) para pemimpin atau pejabat
gereja.
Bagi kaum Injili, Kristus merupakan merupakan pusat
pemberitaan gereja (orang percaya). Kaum Injili percaya bahwa Kristus dapat
ditemui dalam setiap Kitab (Kejadian – Wahyu), karena Alkitab pada intinya
menyatakan siapa Kristus dan bagaimana Ia berkarya bagi umat-Nya. Munculnya
penekanan pada rasio dan filsafat tidak membuat kaum Injili beralih dari
keyakinannya terhadap Kristus sebagai Anak Allah dan Anak Manusia.
Ajaran tentang Keselamatan
Sebagaimana telah disinggung di atas, kaum Injili
percaya sepenunya bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Manusia yang
berdosa hanya dapat diselamatkan jika ia percaya dan menerima Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamatnya.
Sehubungan dengan keselamatan, maka tema penting dalam
teologi Injili adalah pertobatan (conversion).
Dalam perspektif kaum Injili pertobatan berarti
meninggalkan dosa dan berpaling (beriman) kepada Kristus. Untuk memperoleh keselamatan, seseorang harus bertobat
sungguh-sungguh, meninggalkan dosanya dan percaya keoada Kristus. Menurut kaum
Injili, keselamatan adalah seratus persen karya Allah tetapi manusia memiliki
tanggung jawab penuh untuk datang dan menerima keselamatan yang dari pada
Tuhan. Manusia harus bertobat kepada Tuhan menerima keselamatan dari Tuhan. Pertobatan
merupakan taspek yang progressif dalam kehidupan Kristen. Slogan “pertobatan
sehari-hari” (artinya pertobatan yang terus menerus) merupakan prinsip yang
dipegang teguh oleh kaum Injili. Dalam hal ini, pertobatan dikaitkan dengan
kerinduan dan komitmen untuk hidup kudus.
Sehubungan dengan pokok ini maka
“kelahiran baru” (regeneration) merupakan ajaran penting dalam hal ini.
Bagi kaum Injili, seseorang
hanya dapat diselamatkan jikalau ia
telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus. Selain
itu, topik-topik mengenai pemilihan (election),
penebusan (redemption), pendamaian (reconciliation), pembenaran (justification), pengudusan (santification), kesatuan dengan Kristus (union with Christ), dan pengangkatan (adoption), juga merupakan ajaran-ajaran
yang dianggap penting dalam doktrin keselamatan
kaum Injili, meskipun tidak sehebat Calvinisme.
Berkaitan dengan prinsip ini, bagi kaum Injili,
keselamatan ditawarkan dan disediakan bagi setiap orang. Oleh sebab itu, Injil
harus diberitakan kepada segala bangsa tanpa terkecuali. Amanat Agung merupakan
perintah yang tidak bisa ditawar-tawar. Penginjilan adalah tugas wajib bagi
orang percaya (baca: gereja). Semangat kaum Injili dan komitmennya bagi
pelayanan misi (Penginjilan) merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Dalam poin ini, kaum Injili sangat menonjol dibandingkan dengan aliran-aliran
lainnya.[33]
Tema kedua dalam soteriologi Injili adalah iman. Iman
merupakan syarat mutlak untuk menerima keselamatan. Memang tidak dapat dibantah
bahwa dalam semua aliran teologi Kristen, iman merupakan pokok yang penting.
Ketika seseorang menjadi Kristen, maka ia masuk dan memulai kehidupan yang
baru, yang disebut sebagai kehidupan beriman.
Iman merupakan dasar utama dalam kehidupan Kristen.
Bagi kaum Injili, iman merupakan fondasi yang harus berakar dan bertumbuh dalam
praktek kehidupan sehari-sehari. Iman merupakan suatu sikap hati yang
bergantung sepenuhnya kepada Allah dalam menjalani dan menghadapi segala
pergumulan hidup. Chris Marantikan mengatakan bahwa berkaitan dengan ini, maka
doa mendapat tekanan penting dalam segala kegiatan kaum Injili di segala bidang
hidup. Hal ini telah mendorong timbulnya banyak kelompok doa (termasuk di
Indonesia), yang disamping bermanfaat bagi pemberitaan dan pengajaran juga bagi
komunikasi dengan Allah secara berkelompok.[34]
Ajaran tentang Penciptaan[35]
Semua kaum Injili setuju bahwa Allah adalah pencipta
segala sesuatu dan manusia adalah ciptaannya yang unik. Tetapi mengenai proses
penciptaan, belum ada keseragaman pendapat diantara teolog Injili. Sebagian tokoh
Injili menolak teori Evolusi,sementara yang lain berpendapat bahwa proses
penciptaan dalam Kejadian 1-2 merupakan proses yang terjadi dalam rentang waktu
yang panjang. Mereka yang berpendapat demikian disebut penganut teistik
evolusionis dalam aliran Injili. Sedangkan yang lain yang disebut aliran
Literalis, menyakini dan mempertahankan bahwa penciptaan terjadi dalam 6 hari
sebagaimana yang ditulis dalam Alkitab.
Tahun 1955 seorang teolog aliran Injili (Bernard Ramm)
berteori bahwa Allah menciptakan dunia ini secara progressif. Ia menyebut
konsep ini dengan sebutan “Progressive Creatonism.” Empat tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1959 Edward J. Carnell mengemukakan teori “Threshold Evolution”
mengenai penciptaan. Dalam teori ini ia mencoba untuk memecahkan masalah “the
great age of the earth and the man.” Pertengahan tahun 1960, Henry Morris
mencoba mengawinkan tafsiran literal terhadap Kejadian 1-2 dengan ilmu
pengetahuan yang kemudian menghasilkan teori “Scientific Creatonism.” Beberapa
kecenderungan lainnya adalah usaha de-scientisasi terhadap Kejadian 1-2, dimana
kisah penciptaan tidak boleh dianggap sebagai “detail scientific data”, tetapi
sebagai “framework” yang menyatakan kebesaran dan totalitas penciptaan dalam
tangan Allah.
Ajaran tentang Akhir Zaman (Eskatalogi)
Mengenai ajaran Eskatalogi, kaum
Injili berbeda dengan kaum Fundamentalis. Kaum Injili setuju bahwa pusat atau
titik utama dalam Eskatalogi adalah kedatangan Kristus yang kedua kali, tetapi
dalam hal milenialisme tokoh-tokoh kaum Injili memiliki berbagai perspektif
yang luas. Pandangan mengenai milenialisme setidaknya terbagi dalam empat kubu,
yaitu Premilenialisme-Historis (tokohnya George E. Ladd),
Premilenialisme-Dispensasional (tokohnya Herman Hoyt), Postmilenialisme
(tokohnya Loraine Boettner) dan amilenialisme (tokohnya Anthony Hoekma).
Parousia merupakan
pokok utama dalam ajaran Eskatalogi Injili. Meskipun dalam pengajaran mengenai
tanda-tanda yang mendahului parousia tokoh-tokoh
Injili mungkin tidak sama persis, tetapi mereka sepakat bahwa fakta Eskatalogi
yang paling penting adalah kedatangan Kristus yang kedua kali. Umat manusia
hanya diperhadapkan dalam dua pilihan, ke Surga atau Neraka. Perkembangan
terakhir mengenai pandangan Evanjelikal dalam hal Eskatalogi digambarkan sebagai
berikut
More and more
evangelical have been moving away from the Agustinian position of eternal concious
torment toward conditional immortality and annihilationism. In 1988, the
evangelical world was set abuzz with the discovery that one of its leading lights,
John R. W. Stott, believe that God would extingush the wicked rather than allow
them to be tortured for eternity. And there are a few evangelicals who adhere
to a variety of universalism (albeit higly qualified). The overhelming number
of evangelicals, however, hold the eternal separation of God and punishment of
the wicked (whatever that punishment be concious or unconcious).[36]
Ajaran tentang Dunia dan Lingkungan[37]
Ajaran kaum Injili yang lain adalah
“asas mandat ilahi.” Bagi kaum Injili menjadi seorang Kristen
berarti menjadi warga negara sorga dan dunia, mengemban dalam dirinya mandat
ilahi berganda. Disatu pihak ia, bersama umat manusia laiannya, apa pun latar
belakang kepercayaan mereka, mengemban “mandat ilahi pembangunan (kultural),”
yang mendatang menata dunia ini sebagai tempat yang baik untuk dihuni. Mandat
ini bersifat ilahi karena diberikan Allah sendiri sebelum kejatuhan manusia
(lih. Kej. 1:28;2:15). Agen tunggal bagi mandat ini ialah negara yang merupakan
kumpulan masyarakat manusia yang berbeda-beda agama, yang telah dipersatukan
oleh latar belakang yang sama, dalam wawasan yang sama bertekad mengurus atau
menata diri bersama.
Di
pihak lain, kaum Injili percaya bahwa kepada umat Kristiani secara eksklusif,
sebagai warga kerajaan Allah, dibebankan
“Mandat Ilahi Pembaharuan (Spiritual),” yang bertujuan menjadikan
manusia itu hidup baru melalui kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus
lantaran iman kepada Yesus Kristus
sebagai Tuhan dan Juruselamat. Mandat ini diberikan Allah sesudah kejatuhan
manusia dalam dosa, dan berlaku sampai kedatangan Tuhan Yesus yang Kedua Kali.
D. Evaluasi
Melalui
pemaparan di atas, beberapa catatan atau
hal penting yang dapat diambil mengenai evangelikalisme adalah
Pertama,
evangelikalisme adalah aliran yang lahir dalam dan dari tradisi Kristen
mula-mula. Ketika gereja (Katolik) mulai cenderung menjalankan dan membangun
gereja dengan berbagai doktrin dan pemahaman manusia, masih ada sekelompok
orang yang dengan setia mempraktekan dan mempertahankan prinsip-prinsip
kebenaran sebagaimana yang dikatakan Alkitab. Dalam perkembangan selanjutnya,
kaum evangelikalisme tetap teguh pada sikap yang sama, khususnya dalam
menghadapi tantangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teologi yang
orientasinya berujung pada keraguan dan penolakan akan wibawa dan otoritas
Alkitab.
Kedua,
evangelikalisme merupakan gerakan yang dinamis dan terbuka. Tidak seperti nenek
moyangnya (fundamentalisme) yang cenderung menutup diri dan separatis,
evangelikalisme tetap membuka diri terhadap isu-isu perkembangan zaman,
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teologi. Dalam sikap keterbukaan
itu, evangelikalisme bukanlah tipe aliran yang mudah terbawa arus, walaupun kadang kala ia sendiri tidak dapat
menentukan atau memberi batasan yang tegas dimana ia berdiri. Sifat yang
dinamis dan terbuka inilah yang membuat evangelikalisme menjadi aliran yang
mudah diterima oleh berbagai denominasi gereja yang ada, termasuk di Indonesia.
Dalam hal ilmu pengetahuan, evangelikalisme memanfaatkannya dengan mengambil
sisi positif ilmu pengetahuan untuk meneguhkan keyakinannya akan Injil.
Evangelikalisme pun tidak enggan mengembangkan misi dan pemberitaan Injil
dengan sarana-sarana atau unsur-unsur ilmu pengetahuan yang ada.Dengan demikian
mungkin boleh dikatakan bahwa evangelikalisme merupakan aliran teologi yang
bersifat moderat.
Ketiga,
evangelikalisme merupakan aliran yang paling terkenal dengan semangat
penginjilannya. Aliran ini juga secara aktif memprakarsai tindakan sosial yang
nyata sebagai wujud dari pemahaman akan Injil. Meski diakui ada juga aliran
lain yang melakukan hal sama, tetapi evangelikalisme mengungguli semuanya.
Sayangnya, semangat penginjilan ini seringkali tidak ditunjang oleh semacam
program tindak lanjut yang efektif, sehingga ladang Tuhan yang telah dibuka,
dapat terus dipertahankan dan ditumbuh-kembangkan. Hal ini terlihat jelas dalam
sejarah penginjilan beberapa gereja Injili di Indonesia misalnya.
Walaupun evangelikalisme memiliki banyak hal yang baik dan positif
yang tidak dimiliki aliran teologi yang lain, tetapi ada beberapa hal yang penting yang perlu
diperhatikanoleh kaum ini, diantaranya;
Pertama, evangelikalisme tidak mudah (atau tidak dapat)
menunjukkan identitas dirinya secara jelas dan tegas. Dalam bahasa profan,
teologi kaum evangelikal adalah teologi yang suka ada “di sana”, “di sini” dan
“di mana-mana.” Dari satu sisi, hal ini kelihatannya bukanlah suatu masalah
yang serius. Tetapi bagaimanapun juga, evangelikalisme harus berusaha
sedapat-dapatnya menentukan jati dirinya sendiri, menentukan batasan-batasan
dan dasar pijaknya dalam berteologi, meskipun memang tidak dapat dikatakan
sebagai teologi Injili murni (karena tidak ada satu teologipun yang tidak
berakar dari pola teologi yang sudah pernah ada sebelumnya).
Kedua, sebagaimana dilihat
dalam sejarahnya, evanjelikalisme adalah aliran yang mudah terpecah dalam
dirinya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dalam perkembangan teologi Injili
yang cenderung berbeda mengenai salah satu ajaran (misalnya tentang penciptaan
atau Eskatalogi). Perbedaan pandangan ini mungkin disebabkan karena pengaruh
ilmu pengetahuan dan kaum ini berusaha untuk menjembati problematika ilmu
pengetahuan dan Alkitab, ataupun juga sekedar bertujuan untuk memberi
alternatif terhadap beragam pandangan dalam teologia Kristen yang muncul. Dari
sudut ini, niat kaum Injili patut dihargai. Tetapi disisi lain celah perpecahan
internal bisa terbuka. Bukan tidak mungkin “perang dingin” terjadi dikalangan
teolog Injili. Hal ini harus diwaspadai dan disikapi dengan bijak. Perbedaan
boleh ada, tetapi perbedaan itu seharusnya dianggap sebagai bentuk kekayaan
pemikiran yang membuat teologi Injil menjadi lengkap, bukan sebagai alasan
untuk perpecahan.
Daftar Pustaka
Kamus, Ensiklopedi
Elwell, Walter A.
(ed.), Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids:
Baker Book House, 1984.
Ferguson,Sinclair B. David F. Wright and J. I. Packer (ed), The New Dictionary of Theology, Jil. 2. Malang: SAAT,
2009.
Grolier Academic
Encyclopedia Vol. 6: E. USA: Grolier International, 1983.
The World Book
Encyclopedia Vol. 6. USA: World Book, 1995.
Buku
Aritonang, Jan S. Berbagai
Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Barr,James.Fundamentalisme. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
Hadiwijono,Harun.Teologi Reformatoris Abad ke 20. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011.
Hordern,William E. A
Layman’s Guide to Protestant Theology, Revised Edition (New York: Macmillan
Publishing Company, 1955.
Jonge, Christiaan de.Gereja Mencari
Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Lane,Tony.Runtut
Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Linnemann, Eta.Teologi
Kontemporer: Ilmu atau Praduga. Malang: Institute Injil Indonesia, 1991.
Livingstone, James C. and
Francis Schusser Fiorenza, Modern
Christian Thought: The Twentieth Century, Second Edition. Mineapolis: Fortress Press, 2006.
Marantika, Chris.Kaum Injili Indonesia Masa Kini. Surabaya: YAKIN, t.t.
Marsden,George M. Fundamentalisme
and American Culture: The Shapping of Twentieth-Century Evangelicalism
1870-1925. Oxford: Oxford University Press, 1982.
Packer,J. I. Fundamentalism
and The Word of God. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1966.
Ryrie,Charles Cadwel.Teologia
Kekinian. Surabaya: Yakin, t.t.
Smith,David L. A Handbook of
Contemporary Theology: Tracing Trends and Discerning Directions in Today’s
Theological Landscape. Michigan: Baker Books, 1992.
Wells,David F. “Evangelical Theology” dalam David F.
Ford dan Rachel Muers, The Modern
Theologians: An Introduction to Christian Theology since 1918. Australia:
Balckwell Publishing, 2005.
Internet
Mengenal Kaum
Injili, tersedia di http://www.suplemengki.com/mengenal-kaum-injili/
diakses tgl 7 Agustus 2013
Dispensasionalis,
tersedia di http://www.gotquestions.org/Indonesia/dispensasionalisme.html, diakses tgl. 26 September 2013
[1]Mengenal Kaum Injili, tersedia di http://www.suplemengki.com/mengenal-kaum-injili/
diakses tgl 7 Agustus 2013
[2]Chris Marantika, Kaum Injili
Indonesia Masa Kini (Surabaya: YAKIN, t.t.), 8.
[3]Grolier Academic Encyclopedia
Vol. 6: E (USA: Grolier International, 1983), s.v.
“evangelicalism”
[4]Mengenal Kaum Injili, tersedia di http://www.suplemengki.com/mengenal-kaum-injili/
diakses tgl 7 Agust. 2013.
[5]Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran
di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 228.
[7]James C. Livingstone and Francis Schusser Fiorenza, Modern Christian Thought: The Twentieth
Century, Second Edition (Mineapolis: Fortress Press, 2006), 387.
[11]Biografi tokoh ini yang dimuat dalam tulisan ini sepenuhnya di ambil
dari karya: Tony Lane, Runtut Pijar:
Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 179-182
[13]Ibid., hlm. 203-205, dan Sinclair B. Ferguson, David F. Wright and J.
I. Packer (ed), The New Dictionary of
Theology, Jil. 2 (Malang: SAAT, 2009), 106-107
[14]Bagian ini sepenuhnya diambil dari tulisan Dr.
Daniel Ronda yang disarikan dari George
M. Marsden, Fundamentalisme and American
Culture: The Shapping of Twentieth-Century Evangelicalism 1870-1925, (Oxford:
Oxford University Press, 1982), 33-35.
[15]Walter A. Elwell (ed.), Evangelical
Dictionary of Theology (Grand Rapids: Baker Book House, 1984), s.v.
“Fundamentalism”
[16]William E. Hordern, A Layman’s
Guide to Protestant Theology, Revised Edition (New York: Macmillan
Publishing Company, 1955), 57
[17]James Barr, Fundamentalisme (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996), 1.
[18]Ibid., hlm. 1-2.
[19]Aritonang, Berbagai Aliran . . .,
233.
[20]J. I. Packer, Fundamentalism and
The Word of God (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1966).
Dalam buku ini terlihat jelas Packer memakai istilah Fundamentalisme dalam
pengertian yang sama dengan Evangelikal Konservatif.
[21]Elwell, Evangelical Dictionary of
Theology ..., s.v. “Fundamentalism”
[22]Sinclair B. Ferguson, David F. Wright and J. I. Packer (ed), The New Dictionary of Theology, Jil. 2 (Malang:
SAAT, 2009), 117-118.
[23] Elwell, Evangelical Dictionary
..., s.v. “Fundamentalism”
[24]Hal ini misalnya, terlihat dalam sikap gereja Evangelikal di Indonesia,
ada gereja evangelikal yang menjadi anggota PGI tetapi juga menjadi anggot PII.
[25]Harun Hadiwijono, Teologi
Reformatoris Abad ke 20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 165.
[26]Diambil dari tulisan Dr. Daniel Ronda, yang disarikan beliau dari buku
Christiaan de Jonge, Gereja Mencari
Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),
34-38.
[27]Bagian ini sepenuhnya
diambil dari sebuah artikel berjudul Dispensasionalis,
tersedia di http://www.gotquestions.org/Indonesia/dispensasionalisme.html, diakses
tgl. 26 Sept. 2012
[28]Lihat Chris Marantika, Kaum Injili Di Indonesia …, hlm.
[29]Charles Cadwel Ryrie, Teologia Kekinian, (Surabaya: Yakin, t.t.), 61
[30]Eta Linnemann, Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga (Malang: Institute Injil
Indonesia, 1991), 9.
[31]Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini …, hlm.18
[32]David F. Wells, “Evangelical Theology” dalam David
F. Ford dan Rachel Muers, The Modern
Theologians: An Introduction to Christian Theology since 1918 (Australia:
Balckwell Publishing, 2005), 612
[33]Lih. Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini, . . . hlm. 10
[35]Bagian ini sepenuhnya diadaptasi dari David L.
Smith, A Handbook of Contemporary
Theology: Tracing Trends and Discerning Directions in Today’s Theological
Landscape, (Michigan: Baker Books, 1992), 65-68.
[36]David L. Smith, A Handbook of Contemporary Theology, … hlm.68-69.
[37]Diambil dari Chris Marantika, Kaum Injili Indonesia Masa Kini, …, hlm.
16-17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar